Belajar NU dari KH MA Sahal Mahfudh

Jakarta, rmbooks.id – Menjadi NU butuh kekuatan diri dalam aksi sekaligus reaksi. Timbal balik keumatan ini bisa membuat NU lebih hidup di mata umat untuk memupus kesan negatif.

Sudah menjadi rahasia umum NU sebagai alat dalam kancah pergerakan umat. Ini banyak mengandung risiko coba dan salah pada posisi NU.

Saat sama ada frase saudara kandungnya, Muhammadiyah, “jangan mencair hidup di Muhammadiyah, tapi hidupilah Muhammadiyah.

Belajar NU pada sesepuh NUsangat menarik sekaligus inspiratif. Boleh jadi kita berat, tapi nyaris mustahil untuk tidak menyelaminya.

Dalam nalar sekuler siapa yang menanam pasti akan memanen. Dengan modal benih yang terus dipupuk dengan sabar dan tawakal, menjadi NU itu ternyata indah dikenang.

Adalah kisah karomah dan keteladanan Mbah KH MA Sahal Mahfudh. Ulama satu ini banyak dikenang sebagai yang tidak berkenan berada dalam kemilau tokoh NU.

Mengintip wall FB Didik Sayuti, redaksi mendapati satu yang masyhur adalah kerikuhannya terhadap berbagai bentuk layanan VVIP yang kerap melekat kepadanya, di acara-acara NU.

Termasuk kisah tentang penolakan fasilitas kamar hotel dari panitia, saat Ra’is ‘Aam PBNU 1999 – 2014 menghadiri resepsi kegiatan NU di sebuah Hotel berbintang di Surabaya.

Mbah Sahal berdalih pantang memakai anggaran NU sepanjang masih bisa menyelesaikan kebutuhan akomodasinya dengan uang sendiri. Sebuah teladan kesederhanaan yang berat untuk ditandingi.

“Ndak usah, aku moh nganggo duite NU. Aku nganggo duetku dewe ae. Nek NU iku urip-urip NU, ojo sepisan-pisan golek urip nok NU,” demikian dawuh Mbah Sahal mengutip satu riwayat.

Keteladanan lain, sebagaimana dikisahkan salah seorang murid beliau, KH Zulfa Mustofa, yakni menyangkut ihwal penolakannya menjadi tuan rumah kegiatan Munas NU.

Saat Mbah Sahal masih menjabat sebagai Rais ‘Aam PBNU, Ketua Umum PBNU melalui rapat harian PBNU pernah secara khusus meminta agar Ponpes Maslakul Huda, Kajen, Pati – dimana Mbah Sahal sebagai pengasuhnya – berkenan ditempati sebagai lokasi gelaran Munas-Konbes NU.

Tak lain, niatan PBNU kala itu, adalah bentuk penghormatan kepada pribadi KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh sebagai pemegang otoritas tertinggi syuriyah, sekaligus tentu saja harapan agar dapat bertabarruk kepada leluhur Kajen, Waliyullah Syeikh Ahmad Mutamakkin.

“Saya tidak mau ngerepoti warga kampung. (Di Kajen) kita tidak punya apa-apa,” tutur Kiai Zulfa mengisahkan Mbah Sahal.

“Justru itu Kiai. Dengan jadi tuan rumah Munas sarana-prasarana bisa dibangun dan dilengkapi,” bujuk seorang pengurus PBNU.

Namun Mbah Sahal tetap bergeming. Beragam penjelasan dan harapan pengurus PBNU tidak sedikitpun mengubah sikapnya.

Memperoleh manfaat atau keuntungan pribadi dari kegiatan NU, bagi Mbah Sahal adalah pantangan. Sebab hal ini justru bisa mempermalukan diri sendiri dihadapan jam’iyah dan masyayikh NU.

“Justru itu. (Soal dibangunkan sarana-prasarana-red) kita mbayangkan saja susah. Justru itu yang saya tidak mau. Saya tidak mau nanti jadi omongan,” demikian Kiai Zulfa menirukan sikap Mbah Sahal.

Demikianlah kegigihan “Menolak Fasilitas NU” ala Mbah Sahal. Terkait penolakan menjadi tuan rumah Munas NU ini, konon bukan hanya sekali. Tapi juga untuk permohonan yang sama di tahun berikutnya untuk yang kedua kali.

Lahu wa lahum Al-fatihah🤲.