Setelah sekian lama akhirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan taringnya kini. Tak tanggung-tanggung korbannya Menteri. Entahlah bagaimana mestinya menyikapki.
Rentetan kasus korupsi dan banyaknya pejabat yang terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) termasuk suap di Republik ini hampir semuanya bermuara kepada satu peristilahan yang telah merata digunakan di setiap proyek termasuk transaksi jabatan yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara. Peristilahan dimaksud yaitu soal manajemen fee atas proyek atau success fee atas posisi birokrasi. Nama-nya macem-macem tapi intinya sama saja: setoran “jatah preman” alias japrem.
Peristilahan-nya dibuat keren tapi menyesatkan. Antara lain: success fee, marketing fee, arrangement fee atau network fee. Istilah-istilah ini seringkali tidak jelas besaran persentasenya. Sudah pastinya pagu pembiayaannya sama sekali tidak ada kaitan dengan jenis pekerjaa proyeknya.
Seringkali bahkan besaran fee dibuat tidak masuk akal. Yang menjadi korban adalah penerima proyek atau yang sudah kebelet posisi birokrasi yang harus akhirnya mengorbankan mutu dan kinerja. Spec-nya dikurangi abis untuk mengejar setoran fee dan kinerja birokrasi yang jauh dari good corporate governance dan clean government. Bancakan. Terlalu banyak yang harus dibagi dan terlalu banyak jaringan back up politik untuk mengamankan posisi. Maka rusaklah proyek pembangunan Indone sia dan rusak sistem birokrasi kita.
Sudah menjadi tradisi dan konvensi tidak tertulis bahwa dalam setiap anggaran proyek dan jabatan disertakan di dalamnya manajemen fee atau success fee. Fee inilah yang akan mengalir sampai jauh, mempergendut rekening para oknum pejabat negara dan pengurus partai berkuasa. Karena urusan fee inilah banyak yang harus digiring ke hotel prodeo.
Sudah banyak korban terjerat urusan managament dan atau success fee ini. Hampir semua tingkatan. Pusat dan daerah. Pejabat legislatif, eksekutif dan juga yudikatif termasuk petinggi partai. Pernah kena semuanya. Tak ada henti-hentinya dari dulu sampai sekarang. Tidak ada yang mengambil pelajaran.
Apa yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjerat dan mempermalukan tidak memberi efek jera sepertinya. Sepertinya harus dibuat lebih dramatis lagi bahwa siapa saja yang terbukti korupsi harus menerima risiko public hummiliation. Dipermalukan secara terbuka sehingga menimbulkan jera.
Semua mata harus lebih awas. Karena negara sudah memberi mandat kepada semua kita untuk berpartisipasi dalam pengawasan tindak pidana korupsi. Ada imbalan bagi siapa saja yang mampu melaporkan kejahatan kemanusiaan korupsi. Semoga program ini menstimulasi semua untuk secara dekat memantau gerakan para penjahat maling negara. Ini untuk Indonesia yang bersih korupsi. ***
Sumber: RMCO.id
Penulis: Budi Rahman Hakim
Penyunting: Suci Amalia
Leave a Reply