Sudah lebih satu bulan peristiwa KM 50 (Tol Jakarta-Cikampek) berlalu. Namun hingga kini peristiwa nahas yang menewaskan 6 Syuhada Laskar Front Pembela Islam (FPI) tersebut masih belum begitu menunjukan titik terang. Peristiwa yang disebut-sebut sebagai pembunuhan disertai penyiksaan ini masih menyimpan misteri dan teka-teki dengan segudang kejanggalan.
Misalnya kejanggalan CCTV yang tiba-tiba dikonfirmasi rusak, istilah yang digunakan pihak kepolisian sebagai tindakan terukur atas peristiwa tembak menembak, hingga keterlibatan TNI dalam keterangan pers kepolisian dalam menyikapi peristiwa ini.
Peristiwa KM 50 terjadi tiga hari menjelang Hari Hak Asasi Manusia (HAM) yang diperingati setiap 10 Desember. Tak ada yang menyangka peristiwa tersebut akhirnya menjadi kado pahit dalam peringatan Hari HAM Sedunia. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada Jumat, 8 Januari 2020 lalu telah mengumumkan, bahwa peristiwa KM 50 merupakan pelanggaran HAM yang dilakukan pihak kepolisian dan mengindikasikan tindakan unlawful killing.
Sangat sulit memang untuk tidak menyebut kasus ini sebagai bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Pelanggaran HAM dalam konstitusi di belahan dunia manapun sangat tidak dibenarkan. Apalagi dalam sistem demokrasi yang dianut di negeri ini.
HAM sendiri menurut (Miriam Budiardjo, 1993) merupakan hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat. Dalam perspektif politik (Gready, 2003) dalam artikelnya mengatakan, studi tentang HAM posisinya marginal dalam studi ilmu politik. Artinya, sangat jarang ilmuan mengkaji HAM dalam studi politik.
Kendati demikian – dalam konteks demokrasi – baik HAM maupun Ilmu Politik keduanya seperti dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Dalam hal konsolidasi demokrasi misalnya, perlindungan HAM harus diberikan ruang agar demokrasi dapat berjalan dengan maksimal. Lantas apa hubungan HAM dengan demokrasi?
Sejatinya, gagasan tentang HAM melekat dengan gagasan demokrasi. Kedua gagasan itu antara lain; freedom, right, equality, dan institusional protection. Karena itu, penghormatan dan perlindungan terhadap HAM hanya dapat dilakukan di dalam demokrasi. Dengan kata lain, demokrasi tidak ada tanpa jaminan terhadap HAM dan tanpa HAM sangat sulit menegakkan demokrasi.
Empat Persoalan Dibalik KM 50
Pelanggaran HAM umumnya dilakukan oleh institusi secara sistemastis – dalam hal ini dilakukan oleh negara. Korban pada umumnya tidak mampu melindungi dirinya sendiri terhadap negara. Teori tersebut tentu saja seirama dengan peristiwa KM 50 yang menewaskan 6 Laskar FPI. Hal ini sekaligus menunjukkan bagaimana warga negara tak berdaya dihadapan aparat kepolisian dalam hal ini negara.
Jika melihat secara menyeluruh (helicopter view) peristiwa KM 50 yang mengenaskan ini, maka kita akan dihadapkan pada beberapa poin persoalan yang penting. Pertama, persoalan diskriminasi hukum. Sangat sulit untuk tidak mengatakan bahwa negara dalam hal ini pemerintah melakukan diskriminasi hukum terhadap FPI. Perlakukan yang sangat diskriminatif itu sangat terlihat dalam peristiwa KM 50 ini.
Di mulai dari aktivitas penguntitan kepada HRS dan keluarganya sejak awal tiba di Indonesia. Penguntitan itu berlanjut usai HRS dikriminalisasi lewat kasus hukum yang terkesan dipaksakan, yakni kasus kerumunan. Tentu saja kasus itu tidak sedahsyat kasus korupsi dana bantuan sosial atau sejenisnya. Tapi perlakukan hukum terhadap kasus kerumunan di mana HRS menjadi tersangka lebih dahsyat dan luar biasa. Sampai-sampai polisi harus melakukan exstra judicial killing dengan merenggut nyawa manusia di luar proses hukum.
Diskriminasi hukum dalam sistem demokrasi di republik ini tentu saja tidak dibenarkan. Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 menegaskan, semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum – yang kemudian kita kenal dengan istilah equality before the law. Artinya, setiap warga negara harus diperlakukan adil oleh aparat penegak hukum dan pemerintah. Peristiwa KM 50 dengan segala rangkaian peristiwanya menunjukkan bahwa pemerintah tidak memberikan keadilan hukum bagi warganya.
Kedua, represifitas negara. Indonesia menganut sistem demokrasi pancasila di mana kedudukan tertinggi dimiliki rakyat. Dari, oleh, dan untuk rakyat. Kedaulatan rakyat adalah kedaulatan tuhan. Pemerintah tak bisa melawan suara rakyat. Suara rakyat dalam konstitusi di republik ini diwakili oleh lembaga legislatif dalam hal ini dewan perwakilan rakyat (DPR). Amanah konstitusi menyebutkan, setiap warga negara berhak bersyarikat dan berkumpul. Dalam konteks ini, FPI sebagai organisasi masyarakat sejatinya dilindungi Undang-undang (UU).
Namun yang terjadi beberapa waktu lalu. Negara melakukan penurunan paksa atas baliho FPI yang khususnya tersebar di berbagai titik lokasi di Ibukota. Ironisnya, penurunan baliho FPI dilakukan oleh TNI. Bahkan, Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurrahman dalam keterangan persnya, mengancam agar FPI jangan coba bermain-main dengan TNI. Tak sampai di situ, ia juga menyarankan bila perlu FPI dibubarkan.
Keterangan Pangdam TNI dan sikap TNI yang ikut campur mengurusi baliho FPI pun sontak mengagetkan publik. Tindakan tersebut tentu saja dimaknai sebagai bentuk represifitas negara. Kekhawatiran kembalinya dwifungsi ABRI kemudian mencuat menjadi pembahasan di berbagai lini masa media.
Ketiga, hilangnya nurani. Isu utama dalam peristiwa ini adalah perampasan nyawa sewenang-wenang terhadap warga negara alias pelanggaran HAM. Bukan soal korbannya adalah anggota FPI. Namun sejak peristiwa KM 50 yang menewaskan 6 orang laskar FPI sikap masyarakat tampak terpolarisasi. Ada yang berduka, ada yang bersuka, dan ada pula yang bungkam seribu bahasa.
Mereka yang berduka tentu saja keluarga korban, massa FPI, dan juga para pihak yang menjadi oposisi pemerintah. Sementara yang bersuka, tentu saja sebagian orang yang tidak punya nurani menganggap para korban sebagai musuh bangsa, yang setuju jika mereka dihilangkan nyawanya. Mereka biasanya, para buzzer-buzzer politik dan pihak-pihak yang berseberangan dengan FPI, dan para pendukung penguasa dengan taklid buta.
Terakhir, mereka yang bungkam seribu bahasa. Mereka adalah sebagian orang yang mencari aman, antara takut bersuara karena sikap politik partainya atau memang tidak peduli sama sekali. Biasanya orang seperti ini tak mau ambil risiko, padahal ia tahu nuraninya telah tergadai oleh kepentingan politik sesaat.
Polarisasi dalam menanggapi peristiwa KM 50 sangat memiriskan hati. Jika kita berkaca di luar negeri, segala bentuk pelanggaran HAM pasti akan menimbulkan gelombang demonstrasi besar. Semua akan menjadikan para pelanggar HAM sebagai common enemy alias musuh bersama. Bahkan seluruh dunia turut bersuara, mengecam tindakan pelanggaran HAM tersebut.
Masih ingat kasus tewasnya seorang pria berkulit hitam di tangan polisi di Amerika Serikat? Pria kulit hitam bernama George Floyd harus meregang nyawa karena lehernya diinjak polisi. Kematian George Floyd lantas memicu protes dan demonstrasi yang berujung pada penjarahan dan bentrokan dengan polisi selama lima hari berturut-turut. Apapun alasanya, tindakan polisi dengan menghilangkan nyawa seseorang tanpa proses hukum adalah sebuah pelanggaran HAM.
Beberapa bulan berselang setelahnya, demonstrasi besar terjadi lagi di Amerika Serikat. Kali ini, dipicu oleh penembakan polisi ke seorang pria berkulit hitam bernama Jacob Blake. Diketahui, Pria berdarah Afro-Amerika itu ditembak tujuh kali di punggungnya saat hendak masuk ke dalam mobil. Dari kedua kasus di Amerika Serikat tersebut, harusnya dapat dijadikan refleksi bagaimana respon publik terhadap pelanggaran HAM.
Keempat, persoalan penahanan HRS dan pembubaran FPI. Menurut saya, penahanan HRS dengan kasus kerumunan yang menjeratnya sebagai tindakan yang berlebihan. HRS sebagai warga negara sangat kooperatif dalam menghadapi proses hukum yang ada. Kasus kerumunan tersebut selain debatable juga sangat tidak jelas soal hukumnya. Apalagi sebelumnya, HRS sudah membayar denda atas kerumunan dalam acara pernikahan anaknya. Lagi-lagi celah untuk melakukan kriminalisasi tetap saja terbuka.
Tak cukup menahan HRS, organisasi FPI yang didirikannya juga turut dibubarkan pemerintah. Bahkan, negera melalui Menkopolhukam secara resmi menyatakan pelarangan terhadap setiap aktivitas FPI. Setelah pengumuman tersebut, segala simbol berupa bendera maupun atribut yang berkaitan FPI dilakukan pencopotan. Bahkan, negara melalui apara kepolisian mengeluarkan maklumat untuk tidak menyebarkan postingan di media sosial yang menyangkut soal FPI.
Itulah tadi empat persoalan di balik peristiwa KM 50 yang menewaskan 6 laskar FPI. Perlu diketahui, peristiwa KM 50 ini bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri (standing alone). Tentu saja ada serangkaian peristiwa yang melatarbelakanginya. Apa dan bagaimana sesungguhnya peristiwa KM 50 itu terjadi? Apa motivasi yang melatarbelakangi peristiwa berdarah ini? Kita hanya bisa menunggu dan berharap agar peristiwa maut yang terjadi pada Senin, 7 Desember 2020 di KM 50 tersebut dapat segera terungkap secara utuh, independen, dan transparan.
Keterangan pers Komnas HAM yang dengan berani menyebut peristiwa ini sebagai pelanggaran HAM sebenarnya sedikit memberi angin segar. Namun bukan berarti kita tidak mengawal kasus ini secara tuntas sampai akhir. Karena perjalanan untuk mencapai keadilan akan sangat panjang. Harus bertarung di meja pengadilan yang semua perangkatnya adalah alat kekuasaan.
Sebenarnya harapan mencari keadilan ini bisa digantungkan kepada presiden sebagai sosok pemimpin di negeri ini. Namun sepertinya, harapan itu akan sia-sia. Kenyataannya, presiden sampai saat ini masih enggan menyampaikan bela sungkawa kepada para korban. Bahkan tak sedikitpun memberikan statmen soal peristiwa KM 50. Padahal dengan kewenangannya, presiden harusnya menginstruksikan agar kasus ini diusut oleh tim independen agar memberikan rasa keadilan bagi semua pihak, khususnya bagi keluarga korban.
Lagi-lagi kenyataannya tak demikian. Sikap presiden untuk dapat memberikan keadilan tak bisa diharapkan. Lalu kepada siapa keadilan ini kita sematkan?
Arif D Hasibuan
(Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik UI)
Leave a Reply