Partai Demokrat dalam Pusaran Intervensi Negara

Penulis: Arif Hasibuan (Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik FISIP - UI
Sumber Foto: ANTARA

Memasuki awal Februari 2021 publik digegerkan dengan pernyatan resmi Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhyono (AHY) yang mengungkapkan dugaan adanya kudeta atau pengambilalihan kepemimpinan partainya. AHY bahkan menyebut gerakan pengambilalihan kepemimpinan partai demokrat (GPKPD) dilakukan untuk merebut posisi ketua umum dengan mengadakan kongres luar biasa (KLB).

AHY membeberkan aktor intelektual dan para pelaku GPKPD secara spesifik dan terang-benderang. Terdapat 5 (lima) orang pelaku GPKPD yang disebut AHY di antaranya; satu kader aktif, kader yang sudah 9 tahun diberhentikan tidak hormat karena korupsi, satu kader yang keluar sejak 3 tahun lalu, dan seorang pejabat penting di pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Pernyataan anak sulung Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhyono (SBY) ini lantas menjadi ramai diperbincangkan publik. Tapi tak sedikit yang mengapresiasi strategi politik yang dilakukan AHY dalam menyikapi turbolensi politik yang dihadapi partai berlambang mercy tersebut. Langkah AHY membeberkan skenario GPKPD dinilai tepat sebagai bentuk perlawanan yang elegan.

Tak dinyana, pernyataan resmi AHY akhirnya terbukti. Para aktor GPKPD yang dipimpin oleh eks kader Partai Demokrat, Jhony Alen Marbun akhirnya menggelar Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat di Sibolangit, Deli Serdang dengan mendaulat KSP Moeldoko menjadi Ketua Umum Partai Demokrat 2021-2026. Kisruh KLB Partai Demokrat pun kembali menjadi sorotan publik. Bahkan menjadi perbincangan hangat di berbagai media massa dan elektronik.

Konflik Internal dan Sistem Kepartaian

Thomas Carothers di Jurnal Carnegie Endowment in International Peace (2006), Confronting the Weakest Link: Aiding Political Parties in New Democracies, mendeskripsikan partai di Indonesia sebagai organisasi yang sangat leader centric. Partai didominasi suatu lingkaran kecil elite politikus. Kekuatan figur yang begitu dominan membuat partai berada dalam situasi yang mengalami penurunan kualitas, misalnya, tidak memberi ruang kompetisi yang demokratis dalam pengisian jabatan-jabatan utama partai.

Fenomena ini lah yang terjadi di tubuh Partai Demokrat. Tak heran kemudian menimbulkan gelombang protes dari para kader-kader yang kecewa sehingga kemudian melahirkan KLB di Deli Serdang, Sumatera Utara. Salah satu inisiator KLB Partai Demokrat, Hencky Luntungan mengaku bahwa KLB dilakukan karena adanya krisis kepemimpinan. Menurut Hencky, Partai Demokrat hari ini sudah semakin eksklusif dan tidak sejalan dengan semangat awal pendirian Partai Demokrat yakni, menjadi partai yang terbuka dan demokratis bukan menjadi partai yang eksklusif apalagi menjadi partai keluarga.

Selain itu, terjadinya KLB juga dikarenakan adanya kecacatan sistem kepartaian di Partai Demokrat yang tertuang dalam AD/ART. Selain dituding disusun secara sepihak tanpa melalui prosedur, AD/ART Partai Demokrat disebut telah mengangkangi hak-hak demokrasi para kader-kader sebagai pemilik suara yang sah. Hal ini disebut sebagai upaya untuk melanggengkan dinasti politik atau trah SBY dalam Partai Demokrat.

Fenomena tersebut sejalan dengan apa yang disebutkan seorang peneliti bernama Paige Johnson Tan dalam tulisannya berjudul Reining the Reign of the Parties: Political Parties in Contemporary Indonesia, di Asian Journal of Political Science, vol 20, nomor 2 2012. Ia menjelaskan bahwa sistem kepartaian Indonesia sedang berada dalam proses deinstitusionalisasi dan memprediksi bahwa partai-partai akan melemah dengan cara yang tak jelas.

Campur Tangan Penguasa

Fenomena konflik internal partai di Indonesia yang kemudian melahirkan dualisme kepengurusan lewat Kongres Luar Biasa atau sejenisnya, bukanlah hal yang baru terjadi. Selain penyelesaian perseteruan dualisme kepengurusan tersebut selalu berakhir di pengadilan, yang keluar menjadi pemenang selalu kubu yang dekat dengan kekuasaan.

Seperti konflik yang terjadi pada 2008 yang melanda Partai Kebangkitan bangsa (PKB). Internal partai terbelah menjadi dua: kubu KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dan kubu Muhaimin Iskandar alias Cak Imin. Alhasil, pemerintah melalui SK Menkumham memenangkan hasil Musyawarah Luar Biasa (MLB) PKB di Ancol versi Cak Imin.

Begitu juga dalam kasus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada 2014. Terjadi perebutan kepemimpinan PPP antara kubu Djan Faridz dan kubu Rohahurmuziy. Alhasil, pemerintah melalui SK Menkumham memenangkan hasil Muktamar PPP di Surabaya versi Rohahurmuziy. Sementara itu, di Golkar, pemerintah memilih memenangkan Airlangga Hartarto, setelah konflik internal antara Aburizal Bakrie dan Agung Laksono.

Terakhir, perebutan kepemimpinan yang terjadi di Partai Beringin Karya (Berkarya) yang terjadi di pertengahan 2020. Waktu itu, Presidium Penyelamat Partai menggelar Munaslub yang memilih Muchdi Purwopranjono alias Muchdi Pr sebagai ketua umum partai menggantikan Tommu Soeharto, yang kepemimpinannya dianggap gagal. Pemerintah akhirnya mengeluarkan SK Menkumham untuk kepengurusan Partai Berkarya versi Muchdi Purwopranjono.

Apabila mengamati dinamika konflik partai politik tersebut di atas, penyelesaian konflik tampaknya cenderung konsisten memenangkan kubu atau pihak yang berkoalisi dengan pemerintah. Hal ini yang kemudian oleh Direktur Center for Media and Democracy LP3ES, Wijayanto disebut sebagai pihak atau “orang yang bisa dijinakkan oleh kekuasaan”. Maka, jika melihat kuatnya intervensi pemerintah dalam setiap penyelesaian konflik Partai, maka nasib penyelesaian konflik Partai Demokrat di pengadilan sangat mudah ditebak.

Apalagi perseteruan yang terjadi tak sekedar antara kader oposisi dengan kader yang dekat kekuasaan, melainkan berhadapan langsung dengan orang yang merupakan bagian dari kekuasaan. Namun begitupun, politik ibarat bola dalam pertandingan di lapangan. Sebab bola itu bulat, maka kita tak pernah tahu jala siapa yang akan kebobolan. Semua tergantung pada pemainnya. Tapi seperti halnya pertandingan sepak bola, kita tentu bisa memprediksinya bukan?

Penulis: Arif Hasibuan (Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik FISIP – UI)