Delima, Berkuasa & Tiada

Dalam setiap berfikir ada kekuasaan. Minimal untuk bangun setiap hari. Mendapatkan energi sebagai bekal mengais rezeki dari setiap detik yang didapatkan.

Detik kehidupan ini bergelut dengan ragam kepentingan. Dari keluarga, masyarakat hingga negara bangsa. Bahkan konon ada yang mau menjadi “raja dunia” yang bisa kapan saja menentukan nasib satu bangsa.

Ada istilah zoom polliticon dari Aristoteles, bahwa manusia harus bermasyarakat dan berinteraksi satu sama lain, sebagai pembeda dengan yang lainnya. Kodrat yang melekat sampai akhir hayat.

Bermasyarakat setali tiga uang dengan upaya satu dan lainnya untuk meraih kekuasaan. Yang satu akan menjadi dominan satu dari yang lainnya.

Dominasi tanpa kompromi, meski ada banyak bumbu dialog dan interaksi. Tapi sesungguhnya yang memutuskan tetap satu orang. Meski untuk negeri dengan jumlah penduduk ratusan juta ini.

Sampai titik ini, meraih kekuasaan jadi pintu masuk pada konflik, bahkan dalam waktu tertentu menyebabkan pertumpahan darah. Satu saat sayup terdengar karena faktor agama, tapi sesungguhnya lagi-lagi soal mendapatkan kekuasaan untuk jadi alat pemenuhan kebutuhannya.

Kekuasaan sebagai alat, bagai sebuah pisau Akan menghasilkan hidangan enak karena diracik dengan pisau. Tapi juga ada menjadikan seorang masuk jeruji besi karena faktor pidana.

Waktu sebentar lagi hajatan pemilu. Saat semua orang mempertaruhkan waktu, tenaga, harta dan pikiran untuk meraih kekuasaan. Semuanya tertuju pada satu hal. Jangan sampai salah pilih strategi.

Strategi mantan tukang kayu dari Solo terbukti duduk di istana dua kali kontestasi. Jokowi yang tadinya tidak banyak tahu, saat ini, semua kekuasaan tertuju padanya. Jokowi tetap berkuasa, jika mungkin satu kali lagi.

Gambaran berkuasa tanpa batas inilah yang menjadi laten. Boleh jadi bagi sang pemegang kekuasaan, atau pihak lain yang merasa diuntungkan dengannya.

Watak laten ini sangat mudah ditemukan, termasuk dalam diri kita sendiri yang berusaha menolak tua. Berharap menjadi ABG tua sampai batas waktu yang tidak ditentukan.

Menolak mati itu sudah biasa sejak drama kosmis Adam dan Hawa. Lewat nutrisi buah terlarang berharap bisa lebih lama lagi hidup di surga.

Ujian menerima tiada dalam berkuasa juga tidak beda. Satu saat merelakan untuk diganti, masih berharap, minimal untuk tetap dianggap sebagai tahapan kerja yang harus diteruskan.

Bahkan jika tidak mulus mengalami sindrom atas lenyapnya tombol kekuasaan. Terbelit hasrat tidak bertepi meski usia di ujung api. “Andaikan aku hidup seribu tahun lagi,” kata seorang penyair ( siapa ya namanya ? Duh…)

Puisi pendek “sekali hidup berarti, sesudah itu mati”, sulit diterima meski akal sehat 24 karat. Itulah kodrat sekaligus itulah kenikmatannya.

Memandang kuasa adalah semut kecil nun jauh di seberang lautan jelas terlihat. Sementara menerima tiada seperti gajah di pelupuk mata. Butuh energi kesadaran lebih, agar menerima tiada bisa terlaksana.

Tinggalkanlah diri kita pada kesulitan meraih kuasa dan menerima tiada. Dari panggung kecil sekelas ketua kelas di bangku sekolah dasar, sampai kursi empuk di istana negara

Hanya dengan niat berkuasa untuk kemaslahatan, bisa menolong dari jeratan laten berkuasa. Selamat berjuang dengan tekad dan usaha.

Dan Tetap berdoa pada Yang Kuasa.