Ketika kuliah di fakultas hukum, saya tidak mendapat mata kuliah ilmu politik. Karena saya tertarik ilmu politik, saya membeli buku pengantar ilmu politik, karya Prof. Miriam Budiardjo.
Semua fakultas ilmu politik pada universitas, pasti mempelajari buku karya beliau ini. Bukunya telah dicetak berulang-ulang dan dipelajari dari generasi ke generasi mahasiswa ilmu politik di tanah air.
Saya membaca sampai habis dan bahkan diulang-ulang. Mulanya saya kira di dalam buku itu. Terdapat strategi dan teknik untuk menang dan merebut kekuasaan dalam suatu proses politik.
Ah, rupanya, tidak ada teknik dan strategi agar bisa merebut kemenangan dan merebut kekuasaan dalam buku itu.
Yang ada dalam buku itu antara lain sejarah timbulnya pembagian kekuasaan alias trias politika dan sistem-sistem pemilu serta sejarah hak asasi manusia di dunia.
Bila kita renungkan lebih dalam. Mempelajari ilmu politik sama juga mempelajari ilmu hukum. Semua mekanisme yang berlaku dan berjalan di parlemen adalah hukum. Hanya saja, proses menuju produk hukum itu merupakan proses politik.
Nah, pendek kata, politiklah yang melahirkan hukum. Tapi bila hukum telah lahir, politiknya akan hilang. Seperti seorang bayi telah lahir. Ia tak memerlukan kandungan lagi.
Tapi kadangkala, kepentingan politik, bisa mengalahkan hukum. Meskipun hukum itu telah lahir. Seperti deponeering dan amnesti, demi kepentingan politik.
Maka politik dan hukum, bagaikan satu mata uang dua sisi. Mau sisi yang mana, ia tetap mempunyai nilai dan berlaku sebagai alat pembayaran.
Karena politik yang melahirkan hukum, seringkali hukum tidak bisa mengadili keputusan politik. Sebagai contoh, Presiden Gusdur diberhentikan oleh MPR. Secara hukum sah atau tidak? Hukum pun tidak bisa menentukannya. Seandainya, hukum bisa menentukannya. Itupun percuma, karena waktunya telah berlalu.
Jadi tidak heran, di berbagai negara di belahan dunia ini. Banyak ahli hukum menjadi politisi. Tapi para politisi tidak bisa menjadi ahli hukum.
Jakarta, 6 Maret 2021
Kurnianto Purnama, SH,MH.
Leave a Reply