Mestinya rakyat Indonesia mendukung Giring Ganesha. Dia punya cita-cita mulia: menjadi Presiden. Bahwa cita-cita itu dianggap seperti “pungguk merindukan bulan”, atau nyaris mustahil, itu soal lain.
Giring sedang bermimpi, mungkin. Partainya, PSI, tidak punya kursi di DPR. Pengalaman politiknya, minim. Toh, dengan kondisi itu dia berani mengklaim elektabilitasnya melebihi Puan Maharani (Rakyat Merdeka, Senin, 9/11/20).
Nekat, mungkin. Apalagi di tengah politik Indonesia yang dikuasai oligarki partai politik. Jangankan Giring PSI, partai yang punya kursi di DPR saja tak bisa melangkah jauh. Mereka tak mampu mencalonkan kadernya menjadi capres atau wapres.
Tapi, merawat mimpi dan harapan bukan sekadar soal elektabilitas. Menyehatkan demokrasi bukan sekadar “punya berapa kursi di DPR” atau “berapa suara yang diraih parpolnya”. Ini soal keberanian, memperjuangkan terobosan baru.
Harapan perlu terus dipupuk, bahwa kursi presiden menjadi hak semua orang. Bukan hak milik segelintir orang. Bukan diputuskan oleh satu dua orang atau beberapa pimpinan parpol. Saatnya menghilangkan kesan bahwa menjadi presiden atau wapres seperti sesuatu yang sangat jauh, atau menjadi privilege segelintir orang. Atmosfer dan aura itu warisan Orde Baru.
Saat itu, presiden berada di atas menara gading. Presiden tak bisa diusik. Presiden tak bisa salah. Presiden hanya milik satu orang. Selama puluhan tahun.
Saking “sakralnya”, dulu, kata “presiden” bahkan tak boleh muncul di judul film. Saya ingat, tahun 80-an, sutradara Judy Soebroto pernah datang ke sebuah seminar di Surabaya, Jawa Timur.
Dia curhat, filmnya yang awalnya berjudul “Nyoman dan Presiden” oleh pemerintah harus diganti. Tak boleh ada kata “presiden”.
Dia kemudian disodori lima alternatif judul: Nyoman dan Bangsa, Nyoman dan Kita, Nyoman dan Bapaknya, Nyoman dan Indonesia serta Nyoman dan Merah Putih. Judy memilih yang terakhir. Lolos. Di lembaga sensor, filmnya tak disensor. Ternyata, itu semata-mata hanya soal judul.
Sekarang mestinya tak ada lagi hambatan. Tak ada lagi kesan “sangat sakral” itu. Cak Imin, Puan, AHY, Mahfud MD, ketua umum parpol, para bupati atau gubernur, ketua ormas, tokoh agama, pengusaha, pemilik toko sembako, tukang jahit, pegawai bank, siapa pun, punya hak dan peluang yang sama. Tak perlu ada presidential threshold. Tak perlu ada syarat jumlah kursi di DPR atau syarat suara sah nasional.
Karena, syarat bisa saja diatur sedemikian rupa sehingga hanya ada dua kandidat yang maju. Benar-benar dipagari supaya “orang luar” tak bisa masuk. Yang boleh hanya “orang kita”. Atau, bisa juga diatur supaya dua kandidat “pura-pura” bertarung. Padahal mereka dari kubu yang sama.
Sekarang, saatnya bangsa ini mencari dan melahirkan “giring-giring” di luar kotak mainstream. Bukan sekadar wajahnya terpampang di billboard di sudut-sudut kota, atau bermanuver untuk menaikkan elektabilitas partai, tapi wajah “giring-giring” yang tercetak di kertas suara. Di pilpres. Di kotak suara.
Mungkin itu bisa terwujud di 2024.***
Sumber: RMCO.id
Penulis: Supratman
Penyunting: Suci Amalia
Leave a Reply