Beda Sikap Hadapi Covid-19: Indonesia vs Vietnam

Arif D Hasibuan (Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik UI)

Hingga tulisan ini dimuat, virus corona yang dikenal dengan Covid-19 tak kunjung mereda. Pandemi global ini masih saja terus membayang-bayangi kehidupan masyarakat, khususnya di Indonesia. Covid menjelma bak momok yang menakutkan. Kehadirannya yang sejak awal direspon santai pemerintah pun akhirnya berefek negatif pada berbagai sektor kehidupan. Di sisi ekonomi misalnya, Covid sukses memukul jatuh ekonomi Indonesia yang akhirnya terjerembab pada jurang resesi.

Tak dapat mengelak, segala dampak yang terjadi akibat pandemi ini menjadi tanggung jawab negara dalam hal ini pemerintah. Pemerintah harus menyadari risiko atas setiap kebijakan yang diambil. Sialnya, pemerintah tak cepat tanggap merespon kasus penyebaran Covid-19. Sejak awal pemerintah terkesan menutupi data-data yang harusnya bisa menjadi perhatian masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan.

Alih-alih mengumumkan darurat Covid, pemerintah malah membuka kran investasi luar negeri dengan mengimbau para wisatawan asing datang ke Indonesia. Tak cukup sampai di situ, di tengah kekhawatiran masyarakat karena kabar Covid yang terjadi di Wuhan, elit pemerintah justru memproduksi pernyataan-pernyataan yang kontroversi. Narasi yang dikembangkan oleh elite politik Indonesia bernuansa meremehkan ganasnya virus corona. Narasi tersebut menunjukkan nihilnya sense of crisis dari para pimpinan bangsa sehingga memperlambat perumusan kebijakan yang bersifat strategis. Hal ini yang kemudian memunculkan malapetaka.

Malapetaka itu datang bak gelombang raksasa yang menghantam. Ombak penyebaran Covid-19 benar-benar tak terbendung. Pemerintah akhirnya mengakui dan mengumumkan Darurat Covid-19. Pemerintah Indonesia mengonfirmasi kasus pertama COVID-19 pada 2 Maret 2020. Berbagai strategi dan kebijakan pun diambil. Beberapa kebijakan yang dibuat yakni, melarang semua penerbangan dari dan ke China; menghentikan pemberian visa bagi warga negara China untuk melakukan perjalanan ke Indonesia; membatasi perjalanan dari dan ke beberapa negara seperti Korea Selatan, Italia, dan Iran; meliburkan sekolah, kampus, termasuk beberapa kantor pemerintahan dan perusahaan swasta; hingga menutup pusat-pusat hiburan.

Tentu saja sikap pemerintah terbilang lamban. Alias nasi sudah menjadi bubur. Apalagi pernyataan darurat itu disertai dengan kesan gengsi mengakui bahwa, Covid memang berbahaya dan benar-benar melanda Indonesia. Hal itu bisa dibuktikan dengan sikap kontraproduktif dan ambivalensi pemerintah. Pemerintah menerapkan kebijakan yang justru tak menunjukkan kesan darurat Covid-19.

Entah karena tak ada persiapan atau memang tak punya rencana strategis menghadapi Covid, pemerintah akhirnya memilih mengeluarkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dibanding karantina wilayah (Lockdown). Mulanya, kebijakan menghadapi Covid menuai perdebatan hanya karena persoalan istilah. Pemerintah lebih memilih istilah karantina wilayah ketimbang lockdown, padahal kedua istilah ini memiliki makna yang sama. Dalam konteks ini, publik menilai pemerintah tak mampu merealisasikan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dalam langkah pencegahan penyebaran virus corona di Indonesia. Sesuai undang-undang ini, salah satu kewajiban pemerintah adalah memenuhi kebutuhan hidup dasar masyarakat, termasuk makanan bagi hewan-hewan ternak milik warga.

Terlepas dari itu, realitanya covid tak hanya melanda Indonesia saja melainkan negara di seluruh dunia. Artinya, Covid merupakan hal baru yang dihadapi negara. Karenanya, wajar jika pemerintah tertatih-tatih mengatasi pandemi ini. Kendati demikian, bukan berarti pemerintah bisa dimaklumi begitu saja. Sebab, persoalan Covid ini sebenarnya persoalan “political will”. Kasus Covid-19 sejatinya tentang bagaimana cara pemerintah merespon dan bersikap.

Kunci Sukses Vietnam

Menarik sebenarnya, apabila fenomena ini dianalis melalui studi Political Comparatif. Dengan membandingkan Indonesia dengan negara lain untuk menunjukkan perbedaan penanganan dalam menghadapi Covid-19. Salah satu negara yang bisa dibandingkan dalam hal penanganan Covid-19 dengan Indonesia adalah Vietnam. Dalam konsep teori power, Coulombis dan Wolfe menekankan setidaknya, negara memiliki tiga unsur power yang penting. Yakni, wewenang (authoritiy), pengaruh (influence) dan daya paksa (force). Ketiga unsur ini dapat dipergunakan untuk melihat atau mengukur power yang dimiliki sebuah negara.  Dalam konteks, penanganan Covid dapat dilihat bagaimana national power kedua negara ini bekerja. Perbedaan yang mendasar dapat dibuktikan dengan hasil penanganan Covid-19 di antara Indonesia dan Vietnam.

Seperti diketahui, Vietnam adalah negara berpenduduk lebih dari 100 juta jiwa yang berbagi perbatasan dengan China dan berjarak sekitar 1.200 mil dari tempat wabah itu pertama kali dilaporkan di Wuhan. Kendati demikian, negara ini telah mengatasi peluang dalam perang global melawan COVID-19. Mengapa bisa demikian?

Ternyata kuncinya adalah sikap dan respon yang tanggap dari pemerintah. Betapa tidak, Vietnam langsung menyusun strategi perang terhadap Covid-19 setelah kasus pertama muncul di Wuhan, Cina. Pemerintah Vietnam bahkan langsung membentuk Komite Pengarah untuk Pencegahan dan Kontrol COVID-19 untuk mempercepat respons terhadap pandemi. Pedoman resmi untuk pengobatan COVID19 telah diedarkan di seluruh negeri.  Bahkan, Kementerian Informasi dan Komunikasi dan Kementerian Kesehatan Vietnam telah membuat aplikasi bagi pengguna untuk melaporkan status kesehatan pribadi masyrakatnya.

Dalam sebuah sesi diskusi virtual yang penulis ikuti, menyoal kesuksesan Vietnam dalam menghadapi Covid yang digelar Kopi Pahit, disebutkan beberapa faktor yang menyebabkan Vietnam berhasil menghadapi pandemi Covid-19, antara lain.

Pertama, konsistensi pemerintah. Sejak awal virus corona ditemukan di China, pemerintah Vietnam sudah waspada. Vietnam mengintensifkan pengawasan, meningkatkan pengujian laboratorium, memastikan pencegahan dan pengendalian infeksi. Lalu mempersiapkan manajemen kasus yang baik di fasilitas kesehatan, menyampaikan pesan komunikasi ke publik dengan sangat jelas, serta kolaborasi lintas sektor yang erat.

Kedua, Menerapkan protokol kesehatan dengan ketat. Pemerintah menyiapkan fasilitas kesehatan dan  siap merawat pasien virus corona. Untuk mencegah penyebaran virus, pemerintah langsung menerapkan aturan liburan sekolah dan universitas yang panjang di 63 kota. Ketiga, pembatasan physical distancing yang diawasi militer. Pemerintah menempatkan militer untuk mengawasi physical distancing warga. Di mana ada banyak tentara yang Tentara dikerahkan untuk melawan Covid-19. Keempat, melakukan rapid test sebanyak-banyaknya. Vietnam juga melakukan rapid test Covid-19 sebanyak-banyaknya. Kelima, warga Vietnam disiplin. Hal ini menjadi kunci yang sangat penting dalam suksesnya Vietnma mengalahkan Coovid-19.

Direktur Halal Food Vietnam, Basirun Hoang yang saat itu menjadi narasumber mengatakan, faktor utama yang membuat penanganan pandemi Covid-19 di Vietnam lebih cepat adalah karena tingkat kesadaran masyarakat yang tinggi tentang virus kurang ajar ini.

Perlu diingat, ungkap Basyirun, bahwa selain soal kesadaran yang tinggi, Pemerintah Vietnam juga sedari awal telah menerapkan 5 prinsip untuk menangkal Covid-19, yaitu prevention, dedaction, isolation, zoning, dan controlling.

Basyirun menjelaskan, untuk mengontrol penyebaran virus corona Pemerintah Vietnam membuat kategorisasi, yaitu; F0 hingga F5. Kategori F zero adalah orang-orang yang terkena paparan virus secara langsung. Terhadap orang-orang ini pemerintah menempatkan mereka di tempat khusus dan menjauhkan mereka dari penduduk lainnya.

Sementara kategori F1 adalah orang-orang yang sempat melakukan kontak dengan F zero. Pemerintah berupaya keras mencari mereka dan menempatkan di tempat khusus pula. Jadi Pemerintah Vietnam, kata Basyirun, justru mencari-cari mereka yang terdampak dan melakukan kontak.

 

*Arif D Hasibuan

(Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik UI)