Kadangkala saya bingung melihat ada ahli hukum atau akademisi tertentu saat berbicara di forum diskusi sering menggunakan argumentasi pembenaran dengan memberikan contoh-contoh praktik hukum ketatanegaraan di Amerika Serikat.
Padahal, bila dilihat dan dikaji dari aspek sosiologis, budaya dan adat istiadat. Amerika jauh berbeda dengan Indonesia.
Budaya dan adat istiadat berjalan bersamaan dengan hukum setempat. Hukum di Amerika berjalan bersamaan dengan budaya individulalis yang liberal. Disitu, anak-anak mau merokok, mau minum alkohol, mau kumpul kebo, mau merubah jenis kelamin dan mau kawin sesama jenis kelamin adalah hak mereka.
Orang tua tidak bisa ikut campur. Bila memaksakan kehendaknya. Orang tua bisa dihukum. Sebaliknya, budaya dan adat Indonesia tidak demikian.
Di Amerika, misalnya seorang ayahnya mendukung Donald Trump. Sementara anaknya mendukung Joe Biden tidak masalah. Karena ayah tidak mempunyai kewajiban menghidupi nafkah anaknya yg sdh dewasa. Sebaliknya, anak juga tidak wajib memberi nafkah kepada ayahnya. Karena itu adalah urusan negara. Maka ayah dan anak tidak tegur sapa, tak masalah. Tapi Indonesia tidak demikian.
Hukum merupakan suatu tata tertib yang terlahir dan tercipta dari budaya dan adat istiadat setempat. Hukum tidak bisa lepas dari budaya tempat dan waktu dimana ia lahir. Lain negara, lain hukumnya.
Maka sejatinya, para ahli hukum, atau akademisi bisa mengambil contoh-contoh praktik hukum ketatanegaraan dari negara yg berbudaya Asia. Yg negaranya maju dan sukses. Seperti Singapura, Jepang, Tiongkok dan sebagainya.
Mereka bisa maju dengan model hukum mereka sendiri. Mereka tak serta merta mengikuti gaya Amerika.
Begitu pula budaya hukum negara-negara Eropa, seperti Belanda. Negaranya membolehkan menjajah negara lain. Sebaliknya, Indonesia tidak demikian.
Saya mau masuk ke rumah orang lain, diajarkan ayah harus permisi dulu. Jika tdk diijinkan masuk, jangan masuk. Apalagi kalau mau menjajah negara lain, budaya hukum kita pasti tidak memperbolehkan.
Indonesia memiliki budaya dan falsafah Pancasila sebagai rahim Ibu Pertiwi untuk melahirkan sebuah produk hukum. Saya sarankan kedepan, kita tak perlu selalu meminjam rahim dari ibu negara lain. Karena, lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.
Penulis: Kurnianto Purnama, SH,MH.
Leave a Reply