Menjadi Wali Kota Tangsel

Adalah keinginan untuk menjadikan wilayah terpisah dari Kabupaten Tangerang dengan motto cerdas, modern dan riligius. Jadilah Kota Tangerang Selatan (selanjutnya disingkat Tangsel) berdiri sampai detik ini dengan geliat pembangunannya.

Sudah dua kali Tangsel melaksanakan Pilkada dengan keterpilihan Airin Rachmi Diany. Dan kini di Pilkada 2020, mantan Mojang Priangan itu tidak bisa mencalonkan kembali.

Tiga kandidat Pilkada Tangsel sudah kibarkan bendera. Tinggalkan pesan keinginan membangun Tangsel yang jadi acuan pemilih pada 9 Desember nanti.

Membedah pesan politik Pilkada Tangsel sangat tergantung pada isu utama pembangunan. Yakni keteraturan tata kelola pemerintah dalam melayani warga.

Tangsel adalah kota baru yang separuh lebih berpenghuni penduduk asli. Yang nota bene masih berada dalam pola hidup lama, belum tentu siap dengan kebiasaan modern.

Kerja berat Wali Kota Tangsel nanti adalah menyelaraskan kearifan lokal dengan niatan modernisasi. Seringkali nalar modern berjarak dengan pola hidup lama.

Kearifan lokal Tangsel sepertinya masih membutuhkan waktu dan siasat agar tidak gagap menghadapi kebiasaan baru. Dari cara membuang sampah di pinggir jalan sampai menggunakan pasilitas umum.

Yang paling kentara adalah kondisi ekonomi separuh lebih warga yang belum bisa menikmati pembangunan. Bahwa pembangunan infrastruktur berjalan, tidak otomatis produktifitas ekonomi bergerak.

Warga menengah ke atas di Tangsel adalah penikmat kerja di Ibu Kota, yang belum bisa menjadikan warga berekonomi rendah bisa maju berbarengan. Ada jarak antara satu kelompok sosial dengan kemudahan akses ekonomi dengan warga yang berjalan lamban secara ekonomi.

Sebagai sebuah wilayah dengan pendapatan bukan dari sektor industri, Wali Kota nanti harus bisa memberi arah baru pembangunan. Yang bukan hanya menjadikan Tangsel tempat istirahat, tapi lokus aktifitas ekonomi.

Ada janji menjadikan Tangsel layaknya kota lain di dunia, dengan semerbak pembangunan. Tapi ini tetap mengandalkan dari asupan pajak warga, bukan dari kreatifitas ekonomi warganya.

Menjadi Tangsel sentra ekonomi bukan seperti membalikkan tangan, tapi harus memerhatikan kenyataan pola modernisasi berjalan berhadapan dengan kearifan lokal.

Perkawinan modernisasi dan kearifan lokal nampaknya akan menjadi titik pacu pembangunan Tangsel di masa mendatang. Menjadi Wali Kota Tangsel adalah pertaruhan memperhatikan serius kepentingan separuh lebih warganya yang masih terbilang belum menikmati hasil pembangunan

Pesan pembangunan yang diberikan selama dua periode kemaren menjadi kaca dalam menata Tangsel di masa mendatang. Yang jika dilanjutkan dengan model menempatkan warga sebagai obyek pembangunan, maka akan memperlama impian indah itu akan terwujud.

Tapi itu juga tetap memerhatikan watak memilih bersumbu pendek, yang menempatkan Pilkada seperti hajatan. Memilih adalah karena pendekatan cita rasa, bukan beralasan dari pengalaman membangun yang jauh dari harapan.

Terutama gaya pembangunan yang diinterupsi oleh kepentingan segelintir orang, yang dalam prosesnya sudah dianulir sesuai peraturan yang berlaku. Kalau masih memperhatikan bukan kepentingan warga, Tangsel akan tetap seperti sekarang.

Sebuah kota yang tadinya berani pisah dari Kabupaten Tangerang ingin modern cerdas dan religius, tapi kenyataan masih harus menerima kenyataan tersandera dengan kepentingan sesaat.

Selamat memilih dengan cerdas!