Misteri Jokowi

Tidak bisa dipungkiri bongkar pasang kabinet menyisakan aroma pilpres 2024. Bahwa yang paling menarik pengangkatan Sandiaga S. Uno diakui banyak orang sebagai politik belah duren, seolah tidak ada sisa kebencian. Tapi nyatanya, seni memainkan kemungkinan menjadi sangat sumir.

Sedang apakah Jokowi? Apa mendambakan kesan personal berbuat baik pada setiap orang, untuk lawannya sekalipun di pilpres 2019? Atau sedang melempar dadu, entah angka berapa yang keluar? Tidak ada yang tahu.

Misteri Jokowi adalah keindahan tersendiri di tengah meruncingnya pertentangan politik mengakhiri tahun 2020. Tahun 2021 bisa jadi tidak seindah bayangan harmoni Jokowi dengan lawan politiknya, jika angka dadu itu masih sama dengan kondisi 2020.

Jokowi adalah presiden dengan segudang kejutan memecah kebuntuan siapa yang layak menjadi orang nomor satu di negeri ini. Menjadi presiden mempunyai syarat dan rukun lumrah, punya modal sosial dan kapital di atas rata.

Pengusaha mebel yang tahun 2004 pernah ke Amerika dengan hanya tas gendong, tapi 2014 sudah bicara sebagai orang nomor satu di tanah air. Waktu yang cukup singkat untuk seorang tukang kayu bisa bertengger di pucuk pohon ibu Pertiwi.

Sekali lagi, misteri Jokowi dialamatkan pada mitologi Jawa tentang satria paningit di mana akan muncul seketika tanpa disangka. Bukan siapa-siapa, tapi menyalip di tikungan proses demokrasi yang sudah terlanjur absurd pasca reformasi bergulir.

Konon reformasi obat mujarab untuk kesakitan selama rezim orde baru berkuasa. Mantra-mantra diucapkan untuk melahirkan satria paningit. Tapi nyatanya korupsi tetap ada dari Jokowi memimpin sampai tutup tahun 2020.

Harmoni Jokowi dengan lawan politiknya boleh jadi belahan duren dengan cita rasa biasa saja dalam dinamika politik. Tidak ada yang istimewa, setiap insan politik akan berusaha mempertahankan kekuasaannya.

Dalam nalar paling sederhana, setiap orang akan merasa tidak rela jika barang dalam genggamannya hilang begitu saja. Apalagi dengan alasan yang tidak bisa dibenarkan oleh akal budi yang diyakininya.

Jokowi juga manusia yang tidak akan luput dari kekurangan. Jika sebelumnya sebagai anti tesa pada kegamangan demokrasi, tapi dalam proses selanjutnya bisa lahir anti tesa dari kekurangan Jokowi yang detik ada di mata publik.

Semisal di mana pengangkatan rivalnya di pilpres jauh dari kepatutan kompetisi. Suara sumir menyampaikan kenapa juga mau berdarah-darah kalau akhirnya harus satu dalam kekuasaan.

Terlebih jika nanti terbukti rivalitas itu berujung manis di 2024. Karena Jokowi sedang mainkan peran untuk bisa lebih mandiri dari dugaan kuat para pengamat, bahwa dirinya sekedar petugas partai.

Kemandirian politik inilah yang pada gilirannya membuat para pendukung setia gigit jari. Yang tadinya berharap bisa terus menikmati misteri Jokowi tapi pada praktiknya politik tidak pernah melahirkan kawan dan lawan yang abadi.

Masih terlalu jauh hal ini jika dikaitkan dengan kontestasi Pilpres 2024. Karena lebih baik para pembantu Presiden dan atau para pendukungnya lebih fokus pada penanganan pandemi Covid-19 terutama aspek kesehatan dan ekonomi yang harus berjalan dengan simultan.

Jika didorong terjadinya rivalitas dalam rangka Pilpres 2024, akan menyebabkan ego politik berlebihan sekaligus menimbulkan polarisasi baru sehingga fokus penanganan Covid-19 menjadi tidak terselesaikan.

Harkat dan martabat kebangsaan terlalu murah digadaikan dengan hasrat berkuasa yang berlebihan. Pada akhirnya kekuasaan hanya untuk kemaslahatan umat, yang detik ini masih merana karena Covid-19.

“Belanda masih jauh bung”, karena pada akhirnya politik akan berjalan biasa saja. Tidak pernah ada kawan dan lawan, yang penting bisa meraih kekuasaan dengan syarat dan rukun yang disepakati.

Apakah nanti Jokowi akan mendukung Prabowo dan atau Sandiaga dibandingkan seorang Ganjar, masih terlalu dini untuk disampaikan. Nikmati saja misteri Jokowi itu, pilpres 2024 pasti ada pemenangnya!

Good Luck Indonesia!