Belajar dan Belajar

Ada hadis nabi mewartakan “menuntut ilmu itu hukumnya wajib bagi muslim, baik perempuan maupun laki-laki”. Karena dengan ilmu akan lahir sebuah sikap produktif. Melakukan amal kebajikan dunia dan akhirat untuk memberikan rahmat bagi semua umat manusia.

Kaum muda pada zaman Nabi bahkan diperintahkan menuntut ilmu walau ke negeri China. “Uthlubil ilma walau bishshin”; tuntutlah ilmu walau harus pergi Cina. Daratan Cina sudah menjadi tempat tujuan menuntut ilmu, terutama dalam bidang kerajinan tangan dan pembuatan alat-alat berat.

Tidak hanya ke Cina, Nabi Muhammad Saw., pernah menggunakan konsep tukar ilmu pengetahuan dengan tawanan perang. Ketika tawanan perang yang pintar baca-tulis minta bebas kepada Sang Nabi, dikabulkan. Tapi dengan syarat mereka mengajar baca-tulis kepada sejumlah kaum muslim. Setelah mereka berhasil mengajar, mereka dibebaskan untuk pergi atau terus mengajar. Tapi ada yang memeluk Islam, setelah merasakan nuansa kekeluargaan dalam proses belajar tulis-baca itu.

Dalam bidang arsitektur perang, Sang Nabi juga meminta kaum muda pada masanya untuk belajar pada orang Perancis. Waktu itu ada seorang sahabat bernma Salman Alfarisi yang mengajari kaum muda membuat parit dalam berperang. Konon, “perang khondak (parit)” meraih kemenangan gemilang atas tangan dingin Salman Alfarisi itu.

Para pemuda berjibaku belajar dan bekerja pada arsitektur parit itu, melahirkan pertahanan model baru. Musuh banyak yang tidak menyangka dalam sebuah parit ada ranjau yang membunuh mereka. Dan dengan parit pula, jumlah sedikit tidak menjadikan kaum muslim mudah dikalahkan. Kaum muslim bisa dengan leluasa melemparkan tumbak dan anak panah pada kerumunan tentara musuh.

Pasca kenabian, ditemukan banyak peradaban Islam yang menjadikan ilmu pengetahuan sabagai dasar pembangunan. Budaya tulis-baca itu terlihat dari berbagai karya ilmiah para ulama yang tersebar di seluruh dunia.

Islam tidak membatasi diri dalam merengkuh ilmu pengetahuan. Ungkapan arabnya begini; “imal lidunyaka ka’annaka ta’iisyu abadan-wa’mal li’aakhiratika kaannaka tamuutu ghodan”, beramallah untuk dunia seolah hidup selamanya dan beramal untuk akhiratmu seolah besok akan dijemput maut. Selalu semangat merengkuh amal kebajikan dunia-akhirat dengan kecakapan ilmiah dalam dirinya.

Tradisi ilmiah pula yang menyebabkan banyak ulama besar dikenal dengan nama yang berubah di Eropa. Pasca penaklukan Andalusia, perkembangan ilmu pengetahuan di Eropa sangat pesat. Lewat pesan ilmiah sultan Ahmed pula, Eropa menemukan dirinya untuk bisa membangun peradaban.

Coba Anda ingat peletak dasar filsafat Ibnu Rusydi yang berubah nama menjadi Ib averus. Prinsip ilmiah Ibnu Rusydi telah hadir dalam gerak kebangkitan ilmiah di Eropa. Sampai detik ini, perguruan tinggi di Eropa masih memberikan penghargaan pada karya Ibnu Rusydi, dengan tetap menjadi bahan kuliah.

Satu lagi, Ibu Sina yang melahirkan buku dasar ilmu kedokteran “alqanun fiththib”. Ilmuan muslim yang dikenal di Eropa dengan sebutan Avi Cena itu menyumbang besar ilmu pengobatan dunia. Bahkan menjadikan ilmu pengobatan tidak sebatas melihat sisi fisik-ragawi.

Ibnu Sina menegaskan pentingnya mengobati penyakit dari sisi spiritual sang pasien. Pasalnya, cara pengobatan Ibnu Sina sarat dengan pesan spiritual; mengingat prinsip dasar obat dan pengobatan itu hanya sebatas proses. Selebihnya menyerahkan diri pada mekanisme Takdir Allah Swt.,

Mata rantai ilmiah peradaban Islam ini, merupakan bukti paling aktual bahwa seorang muslim harus terus menuntut ilmu sepanjang hayat. Seperti yang diwartakan oleh hadis nabi juga “menuntutlah ilmu dari sejak dilahirkan hingga ke liang kubur”. Long life education, harus terus menuntut ilmu untuk meraih kebenaran milik Yang Maha Mutlak; Allah Swt.

Kesadaran relavitas kebenaran ini juga yang menyebabkan sikap rendah hati para ulama besar di dunia Islam. Ilmu adalah pancaran kebajikan, jangan sampai membuat seseorang merasa paling benar, hingga menghalalkan segala cara untuk mengatakan pendapat selain dirinya salah. Bagaikan pohon padi, akan terus menguning dengan makin tunduk mengabdi pada kebajikan amal.

Kaum muda yang diperintahkan menuntut ilmu harus memahami prinsip dasar toleransi tentang kebenaran ini. Seperti para filosof muslim memaknakan kemampuan dirinya mengungkap tabir kebenaran dalam filsafat. “Inni adri annahu la adri”; sesungguhnya saya ini tahu, bahwa saya ini tidak tahu. Semakin banyak ilmu didapat akan mendorong haus diri menuntut ilmu sebanyak mungkin, karena merasa diri tidak tahu.

Adalah Imam Syafi’i, seorang dikenal cerdas selagi muda, yang melahirkan teori-teori proses pengambilan hukum Islam yang dikenal dengan “ushul fiqih”. Sya’fii melahirkan buku Alumm, berisi detail pendapat hukumnya. Penganutnya sering dikatakan asysyafiiyah; golongan-golongan yang menganut paham fikih imam syafi’i.

Dalam kalimat pembuka kitabnya, Ima Syafi’i mengatakan “ra’yuna shawab yahtamilul khata wa ra’yul akhar khata yahtamilu shawab”; pendapatku memang benar tapi pasti menyimpan benih kesalahan di satu saat kelak. Dan pendapat orang lain memang salah, tapi tetap mengandung benih kebenaran jika diteliti lebih jauh lagi.

Selain sikap kuat untuk menuntut ilmu selama-lamanya, dibutuhkan rasa saling memiliki akan kebenaran dari ilmu pengetahun itu sendiri. Rasa saling memiliki kebenaran inilah yang nantinya melahirkan sikap toleransi atas sesama pencari ilmu. Bukan saling menyudutkan orang lain karena perbedaan sudut pandang, tapi tetap menghargai jerih payah seseorang meski pandangan ilmiahnya berbeda.

Ilmu adalah lautan tidak bertepi. Jangan sampai setelah malang melintang menuntut ilmu, lahir sikap yang dibenci para ilmuan terkemuka dahulu. Mereka tidak pernah bermimpi meraih podium kebenaran dirinya. Biarkan dan bela pendapat yang lain meski berbeda jauh dengan pendapat kita sendiri.

Kebenaran bukan bola liar dan panas bagi para pencari ilmu yang ingat nunduknya padi yang menguning di pesawahan. Makin tua berisi makin rajin melatih diri untuk tawadlu.