Nalar demokrasi kita terusik dengan kehadiran KLB Demokrat 5 Maret 2021 di Deli Serdang yang memutuskan Moeldoko sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Dengan klaim dukungan dari peserta yang konon tidak lebih dari dua jam melaksanakan proses pemilihan ketua umum, Moeldoko segera mengibarkan bendera perang pada AHY.
Terusik karena banyak hal yang menjadi alasan, kenapa KLB itu hadir? Dari soal proses sebelumnya dengan pengumpulan kader Demokrat yang melibatkan Moeldoko sampai berujung klarifikasi bahwa dirinya nyaris mustahil mengkudeta Partai Demokrat.
Alasan moral itu sepintas lalu menyadarkan publik, bahwa ujian bagi AHY tidak terbilang ringan. Inisiator kudeta datang dari poros kekuasaan yang nota bene sering menjadi aktor keterlibatan ambil alih pucuk pimpinan partai.
Ada ciri khusus karena yang akan ambil alih adalah orang nyata-nyata bukan kader Partai Demokrat. Akan sangat berbeda dengan menimpa Golkar dengan KLB melibatkan aktor dari dalam tapi punya hubungan tidak langsung dengan kekuasaan, karena waktu itu kubu KLB Golkar merapat pada poros kekuasaan.
Partai Golkar menghadapi konflik yang hampir sama dengan PD, dengan ada dua kubu, yakni kubu Aburizal Bakrie (Ical) dan kubu Agung Laksono.
Konflik ini muncul pada 2014 ketika keduanya berbeda dukungan dalam Pilpres 2014. Ical mendukung Prabowo-Hatta, sedangkan Agung Laksono mendukung Jokowi-Jusuf Kalla.
Mereka juga sempat bertarung di meja hijau demi mendapatkan legalitas hukum. Pertarungan jalur hukum terus berlanjut hingga tingkat kasasi. Konflik agak mereda ketika Jusuf Kalla, yang saat itu menjabat Wapres pada 2016, merintis rekonsiliasi di antara kedua kubu. Kedua kubu akhirnya sepakat menggelar Munaslub Golkar di Nusa Dua, Bali, Sabtu (14/4/2016), yang hasilnya memutuskan Setya Novanto sebagai Ketum Golkar.
Ujian menimpa AHY sangat kontras dengan Golkar, mengingat bukan soal kepentingan internal yang bisa menghadirkan seperti yang dilakukan Jusuf Kalla. Saat di mana belum ada aktor yang bisa memberikan rasionalitas politik dari kalangan internal, malah kedua kubu berada dalam posisi ekstrim.
AHY terlihat sangat percaya diri dalam menghadapi serangan tersebut, dari awal mencium ambisi Moeldoko sampai akhirnya KLB selesai digelar. Bahkan didukung separuh lebih dari pemilik suara, dengan sisanya terseret ke dalam kubu Moeldoko dengan banyak faktor.
Selintas terlihat kejelian AHY dalam mengerem laju kencang ambisi merontokkan kekuasaannya dalam memimpin Partai Demokrat. Dengan gaya khasnya melibatkan secara langsung pasukan setia, AHY memimpin perlawanan bahkan dengan mengirim surat cinta pada Jokowi.
Langkah tabayun pada Jokowi bagi para banyak pengamat dinilai mengandung risiko coba dan salah, mengingat akan banyak membuang energi. Lebih baik AHY fokus pada aktor terdepan sekaligus memperkuat paket dukungan dari pemilik suara, karena operasi bongkar suara sudah dijalankan.
Bongkar suara akhirnya terwujud dengan kehadiran sebagian pemilik suara dalam arena KLB, yang makin nyaring terdengar ketika AHY melakukan proyek siaga satu pada seluruh pimpinan DPD dan DPC di seluruh tanah air.
AHY menyadari risiko terbesar harus diambil, mengingat ancaman baginya terbilang berat karena tetap ada pondasi kepentingan dari dalam. Terasa dengan keterlibatan Marzuki Alie yang nota bene mempunyai rekaman cukup, mengingat pernah menjadi Ketua DPR RI sekaligus rival terkuat ketika Anas Urbaningrum menang dalam kongres PD di Bandung 2010.
Ambisi Moeldoko adalah perahu bagi siapa saja di kalangan internal PD yang selama ini menunggu nutrisi politik, dari kalangan eksternal sekalipun. Kalangan internal ini merasa punya alasan politik lebih dibandingkan dengan nyanyian kecewa yang selama ini disampaikan ke kalangan internal.
Moeldoko yang nota bene memimpin KSP merasa nyanyian barisan sakit hati itu adalah pintu masuk untuk mewujudkan mimpi besar menuju 2024. Dia melihat PD bidadari cantik yang bisa memuluskan dirinya dalam laga pilpres 2024, yang nota bene bertabur bintang.
AHY menyadari kerja kerasnya menaikkan citra positif PD memicu banyak cembur, ketika sudah selesai konsolidasi demokrasi ke kader PD di ke banyak daerah, ternyata membuat Moeldoko kepincut. Dia merasa lebih baik ambil alih barang lama yang mulai bersinar, dibandingkan berdarah-darah mendirikan partai baru seperti yang dilakukan Prabowo dan atau Surya Paloh.
Langkah cepat kilat Moeldoko memang mujarab, statusnya segera membuncah seolah akan bisa selesai dengan legalitas dari pemerintah. Sebagai yang masih berada dalam lingkaran kekuasaan, perasaan menang dalam ranah legal standing sangat bisa dipahami.
Tapi Moeldoko melupakan bahwa perilaku politiknya sangat kontras dengan aroma KLB yang pernah ada dalam dinamika parpol di tanah air. Bahkan, ditengarai paling unik, mengingat dirinya bukan siapa-siapa dalam PD hanya modal cita rasa berkuasa tanpa modal politik cukup.
Bagaimana pun dalam konfigurasi politik hukum legalitas parpol, membutuhkan sokongan modalitas politik. Ini bukan hanya soal obat mujarab UU parpol terkait mahkamah parpol, tapi soal langkah terburu-buru tanpa perhitungan matang.
Drama KLB adalah wajah telanjang dari demokrasi mati muda, karena ambisi politik melampaui modal yang ada. Moeldoko memang berstatus ketua umum, tapi jalan terjal masih terbentang. Akan banyak serangan balik AHY juga dari kalangan yang selama ini terbiasa memainkan pendulum hukum dalam menopang kepentingan politik.
AHY saya kira akan bisa melalui ujian ini, meski masih banyak diragukan banyak pihak, tapi melihat banyak faktor lemah dalam KLB menjadi rezeki politik AHY untuk terus belajar. Minimal mengingatkan dirinya bahwa konsolidasi internal parpol harus terus ditingkatkan.
Putra suluh SBY ini boleh jadi mendapat berkah konsolidasi, karena KLB datang tidak diundang tapi membawa banyak alasan untuk terus merapatkan barisan. Kondisi inilah yang dalam banyak peristiwa politik menjadikan seseorang bisa lebih matang. Dan AHY sedang mendapatkannya.
Selamat menunggu AHY bicara.
Leave a Reply