Ada Apa Dengan Ramadhan

Dalam banyak literatur Islam, Ramadhan diceritakan sebagai bulan penuh keutamaan. Terdapat media pelatihan sosial untuk setiap insan yang menunaikan puasa. Jangan sampai berpuasa dirasakan hanya menahan lapar dahaga dari fajar menyingsing sampai matahari tenggelam. Puasa adalah cara berguru pada kehidupan kaum dhuafa.

Memang fikih menempatkan puasa sebagai ibadah individual. Yang diwajibkan kepada setiap muslim yang telah akil-baligh untuk menahan diri dari yang membatalkan puasa. Hanya dirinya yang tahu akan puasa di hadapan Tuhan kelak. Apakah telah benar-benar melaksanakan puasa sesuai dengan ketentuan hukum yang ada atau tidak?. Atau puasa penuh cita rasa dalam sketsa sosial keagamaan?

Setelah kita menunaikan puasa sesuai dengan syarat-rukun sesuai ketentuan fikih, sedianya bisa mengambil hikmah. Yaitu sebuah pancaran kesalehan sosial untuk kemanusiaan universal. Seperti yang selalu diulang-ulang oleh para muballigh, bahwa Islam adalah ingin memberikan rahmat kepada seluruh umat manusia. Islam dengan kosakata pengabdian sekaligus agen perubahan perbaikan hidup bagi kaum tertindas.

IsIam dalam model politik kesejahteraan adalah yang selalu membela kaum dhuafa. Dengan tidak mendahulukan kepentingan pribadi dengan label kesalehan tapi nihil dari kosakata kemanusiaan universal. Cita ideal berpuasa adalah berperan aktif dalam politik kesejahteraan ummat.

Adalah Ali Iyazi ulama besar mengatakan hikmah satu ibadah adalah kunci berhamba paling sempurna. Lewat bukunya “hikmatu tasyfi wa falsafatuhu; hikmah dan filosofi syariah”, Ali Iyazi mencoba menjelaskan pada kita bahwa hikmah satu ibadah bisa menjadi sentuhan paling menentukan untuk merengkuh makna ibadah.

Hikmah puasa adalah belajar bareng atas perih dari lapar dahaga di siang hari dari kaum dhuafa. Kita bisa merasakan bagaimana lingkungan sekitar para penderita penyakit sosial. Yang telah lama dibenturkan dengan sistem sosial yang tidak berkeadilan.

Dari mulai kecil menimba ilmu sampai menjadi dewasa yang penuh dengan kosakata kedzaliman. Seringnya mereka membentur ruang hampa, dalam menata sistem sosial di sekelilingnya.

Idul Fitri yang menutup Ibadah puasa selama bulan ramadhan sedianya meninggalkan pesan penyucian bagi kita. Pesan kebebasan idul fitri jangan mengubur itikad berbagi pada sesama. Kenikmatan berbagi adalah bagian paling mengesankan selama idul fitri.

Jika mau memulai, setiap individu bisa merasakan derita kaum dhuafa yang berjumlah separuh lebih penduduk negeri ini. Kaum dhuafa tidak dibatasi lapar-dahaga seperti yang dirasakan oleh yang melaksanakan puasa.

Tidak sedikit dari kaum dhuafa yang merasakan puasa permanen, karena kondisi lapangan pekerjaan dan upah yang tidak manusiawi. Belum lagi mereka punya beban melanjutkan hidup lainnya, terutama pendidikan sebagai bekal untuk meraih kehidupan layak.

Kondisi kaum dhuafa diperparah dengan situasi dan kondisi masyarakat yang mudah terkoyak. Pesan puasa untuk bisa saling menghargai satu sama lain membentur ruang hampa. Katup ketentraman gampang terbuka, melahirkan perbenturan di masyarakat, baik karena alasan ekonomi, idiologi maupun dinamika politik.

Kita mudah melihat rentetan beberapa peristiwa pasca suksesi kepemimpinan  yang makin liar. Meruntuhkan sendi-sendi kehidupan hanya karena mempertaruhkan amanah kepemimpinan yang belum tentu mampu diemban.

Idul fitri bisa juga diartikan kembali kepada asal. Ibadah puasa adalah sarana untuk penyucian diri, tentu saja apabila dijalankan dengan penuh kesungguhan dan ketulusan serta disadarinya tujuan puasa itu sendiri adalah mengendalilan diri. Baik dari perkataan maupun perbuatan yang merugikan orang lain.

Moga saja ramadhan tahun ini bisa memberikan pancaran perbaikan tatanan sosial. Tidak akan bisa diraih hanya mengandalkan mimpi dari pemaknaan setiap pesan puasa. Tapi harus diwujudkan dengan aksi taktis dan kongkrit di lapangan. Biarkanlah sedikit, asal berarti dan terasa bagi perbaikan sistem sosial masyarakat.

Yakin Usaha Sampai!