Adalah doa yang disarankan untuk dibaca di 10 hari terakhir yang membuat kita seharusnya merindukan ramadan. Doa tersebut adalah;
أَللَّهُمَّ لاَ تَجْعَلْهُ آخِرَ الْعَهْدِ مِنْ صِيَامِنَا إِيَّاهُ، فَإِنْ جَعَلْتَهُ فَاجْعَلْنِيْ مَرْحُوْمًا وَ لاَ تَجْعَلْنِيْ مَحْرُوْمًا
Bacaan latin: Allahumma laa taj’alhu aakhiral ‘ahdi min shiyaamina iyyaah, fa-in ja’altahu faj’alnii marhuuman wa laa taj’alnii mahruuma.
Artinya: “Ya Allah, janganlah Engkau jadikan puasa ini sebagai yang terakhir dalam hidupku. Seandainya Engkau berketetapan sebaliknya, maka jadikanlah puasaku ini sebagai puasa yang dirahmati bukan yang hampa semata.”
Ditinggalkan bulan suci ramadan adalah melepas merpati putih terbang ke angkasa. Dia mengepakkan sayap putihnya menyisakan kesepian, sekaligus membuat kerinduan tidak terbendung. Rindu pada bulan suci Ramadhan karena dia berisi keutamaan; berpuasa, tarawih, witir, sahur, lailatulqodar, zakat fitrah dan ibadah lainnya.
Lalu bagaimana dengan kerinduan ramadan itu, kala semua yang dilakukan dalam ibadah di bulan ramadan lenyap ditelan bumi? Apakah masih tersisa rasa kerinduan pada ramadan dalam diri kita, kala menyongsong bulan berikutnya? Dan bagaimana caranya?
Kerinduan tersebut akan sangat menyiksa seorang muslim, jika telah menyelami betapa berharga kesempatan hidup yang diberikan untuk ramadhan tahun ini. Mungkin tahun depan salah satu dari kita sudah ada yang dijemput maut. Atau tetap hidup tapi tidak bisa melaksanakan ibadah puasa secara sempurna.
Siksaan rindu akan ramadhan tidak akan menimpa bagi orang yang melihat Ramadhan sebatas bulan biasa-biasa saja. Kalaupun bisa berpuasa hanya sebatas lapar-dahaga dan berbuka dengan makanan melimpah ruah. Puasa tidak mendorong dirinya melakukan amal kebajikan, sekedar pindah pola makan dan banyak tidur siang. Ramadhan tidak bersinar, baik untuk dirinya maupun orang sekelilingnya.
Anda dapat dengan mudah mengukur kualitas taqwa pasca ramadan. Kualitas taqwa akan sangat bisa ditentukan dengan perubahan cara bergaul, sekaligus ibadah-ibadah sesudah ramadan. Atau yang paling menarik, kualitas taqwa itu sangat terkait sebuah amanah; terutama dalam tanggung jawab mengurus umat.
Jangan sampai, selepas ramadan ada lagi berita menyesakkan dari lembaga anti korupsi. Tertangkap tangan lagi penyelenggara negara yang menyalahgunakan jabatan untuk mendapatkan keuntungan bukan pada tempatnya. Ramadhan 2021 terasa hambar karena tidak mampu menjadikan negeri ini bebas dari korupsi.
Getar rindu ramadan tidak jauh beda dengan yang hadir dalam syair Bimbo. “Rindu padamu, aku ya rasul. Rindu tiada tara. Berjarak abad padamu ya rasul….”. Ekspresi Bimbo berupa rindu secara spiritual, bukan emosional. Tidak cengeng seperti merintih rasa ingin menatap sang pujaan hati. Tapi penuh khidmat akan sosok maha sempurna, Nabi Muhammad Saw yang menekankan pentingnya menjaga amanah mengurus ummat.
Diceritakan, Nabi Muhammad Saw punya kepedulian tiada tara pada umatnya, terutama agar tidak terjerumus dalam perilaku yang merugikan sesamanya. Perang atas perilaku korupsi sudah dimulai dari abad ke-7, setelah kepastian tugas pada Nabi Muhammad Saw; “sesungguhnya aku diutus untuk mementingkan perilaku terpuji” (HR. Bukhori).
Saya kira rindu pada ramadan bisa ditanamkan secara bertahap. Tidak memaksakan diri dengan pengakuan kerinduan. Mengumbar kesadaran palsu, sepintas lalu ikut hanyut akan aroma wangi keutamaan ramadan. Tapi nyatanya amal kebajikan masih ditawar dengan keinginan mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompoknya.
Daya tawar ini dikatakan oleh para sufi sebagai sifat dasar manusia yang cendrung menolak hati nurani. Kita sedianya bisa menyingkap tirai kesadaran untuk mengikuti panggilan nurani. Ramadan bukan soal pahala berlipat ganda, tapi cara pandang kita untuk selalu memompa amal kebajikan.
Jangan berfikir terlalu besar untuk mengubah sebuah tatanan masyarakat. Berangkatlah dari kebiasaan baik meski kecil untuk diamalkan dalam kehidupan nyata. Yang bisa memberikan contoh dalam keluarga, masyarakat sampai satu negara.
Pancaran tauladan dalam diri kita merupakan senjata paling ampuh untuk melahirkan tatanan baik dan beradab. Jangan berharap banyak pada retorika di panggung megah tentang kebaikan, tapi minim amal nyata di lapangan. Dunia citra adalah satu dari sekian banyak hal yang menjadikan pembangunan tatanan kehidupan tidak menemukan bentuknya yang sempurna.
Alqur`an mewartakan dalam kalimat “amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan (QS As-Shaf : 3). Yaitu semangat mengajarkan sekaligus mengajak berbuat baik, tapi dirinya sendiri tidak melakukannya.
Rindu ramadaan adalah ritme aksi nyata yang penuh dengan kosakata kepedulian sosial sebagai pesan paling aktual yang harus dilakukan dengan bukti nyata, meski kecil asal terukur.
Coba nanti Anda rasakan kekuatan rindu ramadan dengan aksi nyata. Makin perbanyak rasa kepedulian sosial itu dengan tanpa beban. Semuanya adalah bagian tidak terpisahkan dari tugas kemanusiaan di muka bumi. Sepanjang kita peduli pada sesama, semasa itu pula akan terasa bahwa hidup ini tidak bisa dijalani secara sendiri-sendiri.
Terakhir, jangan-jangan Anda atau saya sendiri tidak sepenuhnya rindu pada ramadan. Biasa saja memang, sangat manusiawi. Tidak bisa dipaksakan dan direncanakan. Kembalikan saja secara jujur pada hati nurani tentang keutamaan ramadan.
Semoga Anda atau saya sendiri, bukan bagian dari orang yang menyerah pada putaran bulan dalam setahun. Keutamaan ramadan itu wajar tapi selalu ada godaan untuk kembali pada kebiasaan lama.
Selamat tinggal ramadan 2021, panjang umur, murah rezeki, sehat dan selalu bahagia. Dan tentu saja mohon maaf lahir dan bathin.
Aamiin yaa robbal aalamin.
Leave a Reply