Nalar suksesi menempatkan banyak pengamat menukik pada soal prospek pencapresan A. Muhaimin Iskandar (AMI) dalam pemilu 2024. Pun para kader PKB di akar rumput setali tiga uang, Gus AMI Presiden 2024.
Dalam melihatnya, saya lebih tertarik pada geliat sunyi Gus AMI dalam menata PKB sejak pertama kali didapuk menjadi pucuk pimpinan PKB. Bunyi dan sunyi dengan terakhir PKB mendapat prestasi masuk tiga besar dalam rilis survei beberapa lembaga survei.
Gus AMI sangat terbaca punya niatan akan membangun PKB pada momentum terakhir kemenangan Jokowi. Tidak serta menjadi bagian dari kabinet Jokowi sehingga fokus mempertahankan bangunan PKB. Padahal menjadi eksekutif adalah modalitas dalam kancah perpolitikan tanah air.
Gus AMI memfungsikan posisinya sebagai penopang kuat pemerintahan Jokowi, seperti jawabannya pada kompas Jum’at (6/6/2019); “Kita diskusi soal penguatan kebutuhan masyarakat, kira-kira pemerintahan yang akan datang ada beberapa yang harus didapat perhatian bersama sungguh-sungguh yaitu kualitas pendidikan, yang kedua peningkatan usaha kecil dan menengah, yang ketiga tentu gairah keislaman yang muncul di Indonesia.”
Saat yang sama konsentrasi Gus AMI dalam pimpinan DPR adalah koordinator bidang kesejahteraan. Sebuah bidang seksi dalam jalan menjadikan kehidupan masyarakat adil dan sejahtera, sekaligus pembelaan yang menjadi konsentrasinya buah dari keberangkatan perjuangan politik dari kalangan NU.
Meminjam teori Kuntowijoyo (Paradigma Islam,1995) tentang kaum mustadhafin yakni kelompok yang secara sosial, budaya, ekonomi dan politik tertindas oleh kekuasaan. Mas Kunto bukan tanpa alasan mengingat rezim orde baru secara kasat mata menempatkan stabilitas sebagai panglima, meski swasembada pangan hadir tapi jurang miskin-kaya makin melebar.
Pembangunan selama 32 tahun hanya melahirkan segelintir orang kaya yang menguasai hampir 90 persen sumber daya ekonomi, sekaligus menyisakan kaum mustadafin yang secara demografis terdiri banyak dari kalangan NU.
Politik kesejahteraan Gus AMI dapat terbaca sebagai respon balik atas realitas ketertindasan wong cilik yang pasca orde, yang dijawab dengan lahirnya PKB. Partai yang lahir dari rahim NU ini, dengan menyediakan banyak peluang bagi civil society untuk perbaikan tatanan kehidupan bangsa dan negara.
Jika ditarik pada peristiwa itu akan bisa dipahami bahwa Gus AMI mendahulukan membangun PKB adalah mata rantai dari perjuangan PKB sejak pertama lahir, bahwa nanti ada tawaran nyapres juga sebagai kesatuan tidak terpisahkan.
Bukan sekedar nyapres, Gus AMI membuktikan diri bisa membangun PKB sampai beberapa lembaga survei dalam survei mutakhir menempatkan PKB di urutan tiga besar. Karenanya muncul narasi koalisi partai Islam semirip dengan kesuksesan poros tengah mengantarkan Gus Dur ke Istana Negara.
Ini menarik sekaligus inspiratif, walau banyak yang pesimis hal itu bisa terwujud namun jika pembentukannya diinisiasi oleh Gus AMI di mana partai yang dipimpinnya berafiliasi secara kultural ke Ormas Islam Nahdlatul Ulama,. Dan suara warga NU sangat menentukan dalam kemenangan dalam setiap hajatan pilpres.
Dalam batas maksimalnya akan diperankan lebih jika Ormas NU dan Muhammadiyah dan partai yang berafiliasi secara kultural kepada dua Ormas Islam terbesar itu mau menjadi motornya.
Harus diakui suara warga NU dan pemilih dari suku Jawa adalah kunci kemenangan di pilpres. Kita bisa menyaksikan hal itu pada pilpres 2019 lalu. Itu artinya pembentukan Poros Islam kalau tidak didukung NU dan tidak diinisiasi oleh parpol yang berafiliasi ke NU, akan sulit terwujud.
Apabila NU bisa mengajak atau mau bersama-sama Muhammadiyah ikut mendukung poros ini, pasti akan menjadi kekuatan dominan. Teknisnya tentu saja PKB, PPP dan PAN sebagai partai yang mempunyai hubungan kultural dengan kedua ormas itu yang bergerak.
Dalam konteks itu peran tokoh seperti Gus AMI jadi sangat menentukan. Kalau dia mau turun dan mengajak PPP dan PAN kemudian PKS untuk membentuk poros Islam maka satu kekuatan besar dalam politik akan berdiri kokoh.
Suara umat Islam di Indonesia itu cukup banyak dimana selalu terbagi dalam tiga ceruk besar yakni; Islam Tradisionalis yang diwakili Ormas NU dan berwujud partainya dalam PKB dan PPP. Lalu ceruk Islam Modernis yang berwujud partainya dalam PAN, PKS dan PBB.
Diketahui perolehan suara partai Islam pada pemilu legislatif 2019 lalu adalah sebesar 30,05 persen atau setara 42.059.378 yang terdiri dari suara Partai PKB: 13.570.097 (9,69 persen), PKS: 11.493.663 (8,21 persen), PAN: 9.572.623 (6,84 persen), PPP: 6.323.147 (4,52 persen), PBB: 1.099.848 (0,79 persen).
PKB zaman now adalah bidadari seksi yang banyak diperbincangkan orang, saat di mana Gus AMI lebih sering mengatakan untuk tingkatkan politik kehadiran pada seluruh kader PKB di tanah air.
Banyak menempatkan Gus AMI berpotensi menjadi calon presiden di pemilihan presiden (Pilpres) mendatang, karena fakta politiknya selama ini Gus AMI telah sukses membawa PKB masuk dalam urutan tiga besar.
Apa yang dilakukan Gus AMI itu tidak bisa dipandang remeh, karena suara PKB selama dipimpin oleh Gus Ami cukup banyak dibandingkan Partai Demokrat dan partai Islam lainnya. Bahkan kursinya lebih banyak dibandingkan Partai Demokrat dan partai-partai Islam lainnya.
Namun, membangun PKB akan tetap didahulukan Gus AMI karena medan terjal pilpres membutuhkan sokongan PKB, yang jika takdir politik mengarahkan pada tiket pencapresan, Gus AMI bisa meraih suara signifikan.
Gus Ami memang masih belum menyatakan kesiapan pencapresan, tapi jika melihat getaran elektabilitas PKB terakhir, “road to 2024” akan sangat banyak ditentukan oleh Gus Ami. Dan itu menjadikan banyak pengamat menempatkan Gus Ami dalam daftar calon pemimpin masa depan.
Semoga dan selamat memilih untuk Adil Makmur Indonesia !
Leave a Reply