Arteri Dahlan Sindir Demokrat Walk Out Terkait UU Ciptaker, Benny K. Harman : Saya Siap Jadi Saksi

Jakarta, rmbooks.id – Anggota Komisi III DPR Fraksi PDIP Arteria Dahlan menyindir fraksi Demokrat walk out saat rapat paripurna pengesahan omnibus law RUU Cipta Kerja (Ciptaker) pada 5 Oktober 2020 lalu.

Arteria menyebut Demokrat awalnya menyetujui UU Ciptaker saat masih dalam pembahasan. Namun saat ada awak media yang meliput, fraksi tersebut menyatakan menolak.

Hal itu ia sampaikan saat menjawab pertanyaan majelis hakim Mahkamah Konstitusi dalam sidang Uji Formil UU Ciptaker di Mahkamah Konstitusi terkait salah satu fraksi yang menolak UU tersebut.

“Jadi kalau ada walk out, apa yang diperdebatkan? Nanti saya kasih videonya yang mulia. Wong mereka itu sudah sepakat di awal. Begitu ada media, begitu ada elemen buruh, tiba-tiba pernyataannya berubah. Apakah ini yang mau kita jadikan dasar?”ujar Arteria dalam sidang uji formil UU Cipta Kerja yang dilakukan secara daring, Kamis (17/6).

Arteria juga menuding Demokrat tidak banyak melakukan kontribusi terhadap pembuatan UU Ciptaker. Namun, ketika disahkan berkoar-koar di media.

“Yang mulia juga harus menanyakan ada tidak fraksi yang on-off on-off? Ada tidak fraksi yang baru terbit, baru hebat, baru bicara lantang pada saat masuk media televisi,” ucap dia.

Melalui @BennyHarmanID Sabtu (19/6) Benny K. Harman menyatakan bahwa sidang UU Ciptaker di MK yang memunculkan Demokrat disebut WO saat diliput merupakan bohong besar.

“Dari awal di semua tingkatan pembahasan, Demokrat menolak RUU Ciptaker kluster ketenagakerjaan. Jika MK mau cari kebenaran, saya siap hadir sebagai saksi di sidang MK,” ucapnya.

Dia berharap, terkait uji konstitusionalitas UU Ciptaker di MK saat ini, hakim MK benar-benar menjadi pengawal konstitusi. Disarankannya, jangan takut kedudukan hilang untuk membatalkan UU yang jelas-jelas cacat prosedur-konstitusi.

“Demi keadilan, saya pun siap bersaksi di persidangan MK,” ujar Benny.

Menurutnya di negara demokrasi, MK dibentuk sebagai perkakas rakyat untuk membentengi diri dari kesewenang-wenangan rezim diktator dan kaum oligarki politik.

“Di negara otoriter, MK menjadi senjata penguasa untuk meredam suara kritis rakyat yang menuntut hak-hak konstitusionalnya,” pungkas dia.