Dalam lintangan sejarah perjuangan kemerdekaan terdapat jejak gigih para santri, sebagai komunitas intelektual di bilik-bilik pesantren tapi tampil ke depan ketika kezaliman penjajah ada di depan mata. Jejak gigih itu memuncuk pada perjuangan melawan penjajah pasca kemerdekaan, tepatnya di Surabaya dengan adanya perlawanan santri pada tentara Inggris dan Belanda pada 10 November 1945.
Perjuangan santri tersebut dipicu oleh Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh NU pada 22 Oktober 1945 yang ditujukan pada rakyat nusantara bahwa melawan penjajah yang dzalim hukumnya wajib dan semua ulama-santri dan rakyat terus melakukan berbagai perlawanan.
Mbah Hasyim mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad untuk membakar semangat kaum santri untuk melawan penjajah. Karena berisi tiga ajakan agar setiap muslim –tua, muda, dan miskin sekalipun — wajib memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan Indonesia, itu yang pertama. Kedua, pejuang yang mati dalam perang kemerdekaan layak disebut syuhada. Dan ketiga, warga Indonesia yang memihak penjajah dianggap sebagai pemecah belah persatuan nasional, maka harus dihukum mati.
Narasi Jihad fisabilillah yang dialamatkan pada pembelaan agama Allah, mengambil bentuk aktual membela tanah air yang hukumnya menjadi fardhu ‘ain bagi setiap individu. Para santri merasa membela tanah air adalah sama dengan membela hak-haknya sebagai kaum Muslim di bumi yang ditempatinya, dan memperjuangkannya adalah sama dengan membela agama Allah, maka bila meninggal sama dengan syahid.
Mati syahid adalah sesuatu yang diidam-idamkan bagi setiap Muslim. Karena sangat jelas janji Allah bagi mereka yang membela-Nya adalah surga. Perjuangan-perjuangan jaman penjajahan memang betul konteksnya ketika itu adalah mempertahankan diri dari penjajah.
Perlu disampaikan buah dari itu semua adalah kehadiran Laskar Hizbullah, Laskar Sabilillah sebagai cikal bakal Tentara Pembela Tanah Air (PETA) dan selanjutnya menjadi Tentara Nasional Indonesia.
Belajar Pada Sejarah
Menelisik Resolusi Jihad adalah meneledani perjuangan para santri dalam mempertahankan kemerdekaan yang notabene diperankan oleh ulama paling fenomenal, yakni mendorong kepada Bung Karno untuk segera melakukan proklamasi kemerdekaan pada 17 agustus 1945, yang sebelumnya ada BPUPKI (Badan Persiapan Usaha Kemerdekaan Indonesia) di mana salah satu anggotanya adalah KH. Wahid Hasyim putra Hadrotus Syeh Hasyim Asy’ari yang juga ayah presiden Gus Dur.
BPUPKI berhasil merumuskan dasar negara berupa Pancasila, bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Undang-undang Dasar 1945 dan Bhineka Tunggal Ika dengan menghormati perbedaan suku, agama, adat istiadat warga bangsa indonesia. Hasil dari BPUPKI itu selaras dengan intisari dari piagam madinah zaman Rasulullah SAW.
Santri akan selalu menjadi garda terdepan dalam mempertahankan Pancasila, UUD ‘45, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Dan juga pasti akan menolak perubahan dasar negara mejadi komunis sosialis, kapitalis liberal sekaligus berdasarkan satu agama tertentu.
Menjadi santri adalah bagian tidak terpisahkan dari proses merajut semangat nasionalisme, yang sekira 33 tahun mengalami mutilasi terutama dengan menghilangkan jejek gigihnya dalam tinta sejarah. Pasca reformasi, jejak gigih santri itu diapresiasi dengan Peringatan HSN; Hari Santri Nasional yang jatuh pada setiap tanggal 22 Oktober sejak ditetapkan Presiden Joko Widodo pada 22 Oktober 2015 melalui Keppres Nomor 22 Tahun 2015
Memori Ikhiar Santri
Membaca HSN 2021 sejatihanya adalah memperkuat memori ikhtiar kebangsaan, bahwa santri adalah garda terdepan dalam perjuangan kemerdekaan. Memang, stigma santri yang dianggap tradisional, kolot sedikit demi sedikit mulai menghilang dari peredaran, karena nyatanya sekarang kaum santri banyak yang yang berkecimpung di berbagai macam bidang keahlian.
Tapi zaman terus berputar, tentu saja perjuangan akan mengambil bentuk lain. Dulu perjuangannya adalah melawan penjajah dan memiliki cita-cita mati syahid di jalan Allah. Kini, santri dituntut untuk bisa menjadi solusi dari problem kehidupan berbangsa dan bernegara. Yang paling penting terus belajar dan semangat meningkatkan kualitas diri dengan berani menatap masa depan yang semakin penuh tantangan.
Dalam menyambut HSN 2021, kaum santri sedianya bisa menjawab tantangan masa depan yang semakin kompleks. Pertama, harus menjadi penopang kekuatan ekonomi baru di tengah terpuruknya ekonomi nasional akibat pandemi sekaligus melek teknologi dan ilmu pengetahuan sehingga bisa menghasilkan generasi yang sesuai dengan tantangan zaman.
Bukan sekedar hari santri, yang meriah dengan seremoni tapi kering dari aksi kongkrit sekaligus produktif bagi keutuhan NKRI. Ancaman itu masih terasa, setidaknya dengan adanya kezaliman dalam wajah yang sepintas lalu manis padahal mengancam sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan itu pasti.
Leave a Reply