Seminar Nasional Keterwakilan Perempuan Dalam Politik Indonesia di UIN Jakarta Simpulkan Politik Uang Masih Dominan

Banten, rmbooks.id – Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) – Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menggelar seminar Nasional dengan tema “Keterwakilan Perempuan dalam Politik di Indonesia’, Rabu, 24 Agustus 2022, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Tangerang Selatan Banten.

Acara dihadiri oleh Prof. Dr. Ulfah Fajarini, M.Si Kepala Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) UIN Jakarta dengan Keynote Speaker Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, Lc., M.A. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Sementara nara sumbernya adalah Hj. Endang Maria Astuti S.Ag, SH, MH Anggota DPR RI F-PG,, Betty Epsilon Idroos, M.Si Komisioner KPU RI, Wa Ode Rabia Al Adawia, S.E., M.B.A Anggota DPD RI, Amaliah S.KG., M.B.A Anggota DPD RI dengan moderator Dr. Iin Kandedes, M.A Koordinator Gender PSGA UIN Jakarta.

Dalam pembukaan, Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, Lc., M.A menyampaikan seminar tersebut sengaja diadakan untuk mencari solusi dari setiap problem politik perempuan dengan menghadirkan pelbagai pembicara, agar terbaca utuh dan terencana.

Selanjutnya, Prof. Dr. Ulfah Fajarini, M.Si menyampaikan bahwa secara normatif sudah sepakat kouta perempuan sebanyak 30 persen.

“Tapi ada masalah krusial berupa keterjaminan legislasi oleh yang telah terpilih. Jika mencalonkan diri bukan soal meminta memilih tapi sejauh mana bisa menjamin keberlangsungan legislasi,” ucapnya

Dia jelaskan problem krusial adalah Pertama pragmatisme politik, yang terjadi ketika masa kontestasi pemilu.

“Saya melihat mata sendiri ibu-ibu pengajian agar tidak menerima amplop 50ribu, jika dibagi selama lima tahun saja, tidak akan cukup untuk membeli kangkung satu ikat saja. Itu yang pertama,”

Kedua, masalah patriarki yang akan melahirkan oligarki politik di mana menjadikan transaksional dan setiap kontestasi.

“Mungkin bisa belajar pada negara Swedia, ketua parlemen sudah berkali-kali dipimpin oleh perempuan karena politisi perempuan di sana bisa menghadirkan banyak kepentingan. Artinya perlu diselami visi politik perempuan di sana untuk kemaslahatan publik,” pungkasnya

Problem itu mendapat tanggapan dari Endang Maria Astuti bahwa dia sendiri di luar jadwal persidangan hari Sabtu-Minggu terjun ke lapangan dengan menyampaikan apa yang sedang dilakukan.

“Tapi ini memang dianggap pemborosan dibandingkan dengan skema ingin mendapatkan 100ribu suara hanya dengan menyiapkan amplop sejumlah suara tersebut,” tukasnya.

Dia mengaku sejak 2004 yang berprofesi guru melakukan advokasi terhadap kekerasan atas perempuan dan anak.

“Ini ternyata menambah suara dari waktu-waktu sampai akhirnya terpilih,” jelasnya.

Dalam melakukan konsolidasi politik, dirinya terbiasa memetakan terlebih dahulu, agar bisa menyusun rencana strategis.

“Meski begitu, tetap saja ada yang berusaha menariknya dengan cara transaksional dengan imbalan berlipat ganda,” keluhnya.

Dan jangan juga kaget, karena perjuangan politik perempuan dalam legislasi banyak menemukan hambatan dalam implementasinya, bahkan dari politisi perempuan itu sendiri.

Dalam proses penentuan siapa yang layak nyaleg juga, menurutnya, bukan asal perempuan, tetap harus memperhatikan aspek lain. Memang uang harus ada, tapi itu bukan segala-galanya.

“Terjun ke politik memang berat, tapi jangan berfikir politik itu kotor. Bagi saya, turun langsung ke lapangan tetap ada manfaatnya,” sarannya.