Pada saat hari perayaan Imlek, masyarakat Melayu akan berkunjung ke rumah-rumah masyarakat Tionghoa.
Setelah itu masyarakat Tionghoa dengan pintu rumah terbuka dan senang hati pula akan menerima tamunya orang-orang Melayu.
Sebaliknya pula, ketika pada Hari Raya Idulfitri, Etnis Melayu di Pulau Belitung akan memberikan ketupat kepada etnis Tionghoa
Ketupat dan sayur-sayurannya ini, ditaruh di fala. Sebuah tudung saji. Kemudian ditaruh di atas kepala lali diantar ke rumah-rumah etnis Tionghoa.
Begitulah Kurnianto Purnama atau akrab disapa Atet menceritakan keharmonisan dua etnis yang tinggal di Pulau Belitung dalam novelnya berjudul Belitung dan Kue Cang.
Novel yang diluncurkan akhir Januari lalu ini dituliskan dengan menggabungkan kenangan masa lalu penulis dan literatur sejarah, kemudian diolah dengan imajinasi dan alur cerita yang mengalir.
Pria yang merupakan pengacara diibukota ini terinspirasi menggarap buku keempatnya itu ketika peringatan hari kue cang pada Mei 2020 lalu.
“Mulanya saya ingin menulis artikel pendek untuk mengenang, lalu ketika saya baca literatur, wah ini bagus kalau dibikin novel. Ada makna dibalik kue cang itu,” ungkap Kurnianto kepada Posbelitung.co, Minggu (14/2/2021).
“Dua bulan saya mempelajari literatur, enam bulan proses penulisan, kemudian lanjut ke proses editing,” imbuh Atet.
Ia menyebut, sebagai pengacara yang menulis sebuah novel tentu ada kekhasan dari karyanya.
Tak seperti sastrawan yang memiliki imajinasi yang digubah menjadi tulisan, karya Atet justru berasal dari memori masa lalu.
Terutama kenangan bersama orang-orang terdekat dimasa lalu hingga budaya sekitar.
Tak mudah baginya menggarap karya novel. Kerap kali ia harus kurang tidur karena mengerjakan tulisan dan revisi, serta berbagai hal yang terjadi selama penulisan.
Meski begitu, kesulitan tak menghalanginya terus menggarap hingga karya tersebut diterbitkan.
Bagi pria kelahiran 1961 ini, menulis adalah menyebarkan kebaikan juga meninggalkan warisan.
“Walau saya nanti sudah tidak ada, tapi ada sesuatu yang ditinggalkan. Bagi saya, sejauh dan sehebat apapun orang, kalau tidak menulis, ia akan dilupakan orang. Kalau menulis, walau jasad dikubur, ide-ide tidak dikubur, ide-ide akan terus hidup,” ucap dia.
Melalui bukunya, Alumni SMA Negeri 1 Tanjungpandan ini berkeinginan memperkenalkan Belitung yang kini menjadi daerah tujuan wisata.
Tak hanya memperkenalkan tempatnya, namun juga budaya masyarakat setempat yakni Melayu dan Tionghoa yang tergambar dalam memorinya, serta menceritakan makna tersendiri dari kue cang yang rutin diperingati setiap tahunnya.
Sebagai sumbangsihnya pada tanah kelahiran, juga atas permintaan Wakil Bupati Belitung Isyak Meirobie, beberapa waktu lalu, ia juga memberikan buku karya-karyanya buat perpustakaan daerah.
Atet berharap buku-bukunya ini digemari para pembaca.
“Saya baca buku ini 10 kali ada, tapi masih ada kesalahan sedikit. Saya bilang, tak ada gading yang tak retak, tak ada buku yang sempurna. Itu betul,” tuturnya.
Artikel ini telah tayang di posbelitung.co
Penulis: Adelina Nurmalitasari
Leave a Reply