Sekolah dianggap telah gagal menerapkan budaya toleransi dalam praktek pendidikan. Sebab, masih terdapat aturan yang memaksakan siswa untuk menjalani praktek di luar keyakinan ajaran yang dianutnya.
Belum lama ini, salah seorang wali murid non muslim memperotes kebijakan penerapan mengenakan jilbab terhadap putrinya yang beragama non muslim di SMKN 2 Kota Padang Sumatera Barat. Hal ini menurutnya bertentangan dengan hak asasi dalam beragama.
Kewajiban menggunakan jilbab di SMK Negeri 2 Padang sejatinya sudah ada sejak Wali Kota Padang Fauzi Bahar menjabat pada tahun 2005. Ketika itu diterbitkan Instruksi Walikota Padang No 451.442/BINSOS-iii/2005. Isinya tertulis mewajibkan jilbab bagi siswi yang menempuh pendidikan di sekolah negeri Padang.
Aturan ini sebetulnya sudah berjalan lebih dari 15 tahun. Namun, bagi siswi non-Muslim, aturan ini tidak berlaku. Jika siswi non-Muslim mau memakai jilbab tidak masalah, tidak pakai pun tidak apa-apa (Republika, 26/1/2021).
Kasus yang terjadi di SMKN 2 Padang, sebetulnya bukan satu-satunya peristiwa intoleransi di sekolah negeri. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) membeberkan kasus sejenis yang terjadi di sekolah negeri di berbagai wilayah Indonesia.
Pada tahun 2014 pernah terjadi kasus pelarangan penggunaan jilbab terhadap siswa yang beragama Islam di beberapa sekolah, seperti SMPN 1 Singaraja dan SMAN 2 Denpasar Bali. Selain itu, pada Juni 2019 ada surat edaran di SDN 3 Karang Tengah Gunung Kidul Yogyakarta, yang menimbulkan kontroversi karena mewajibkan siswanya mengenakan seragam muslim.
Intoleransi juga sempat terjadi di SMAN 8 Yogyakarta, karena kepala sekolahnya mewajibkan siswanya untuk mengikuti kemah di Hari Paskah. Selanjutnya, Pada awal 2020, seorang siswa aktivis Kerohanian Islam (Rohis) SMA 1 Gemolong, Sragen, merundung siswi lainnya karena tidak berjilbab.
Peristiwa tersebut telah menggoreskan luka di dunia pendidikan kita. Nama sekolah tercemar. Publik pun berprasangka negatif. Terlebih terjadi di sekolah negeri, yang semestinya menjadi tempat paling aman dan nyaman untuk tumbuh kembang anak dan menerapkan toleransi dalam bingkai bhineka tunggal ika. Juga mengembangkan potensi intelektual dan spiritual (keagamaan) yang diasah sedemikian rupa, hingga kelak menjadi bekal bagi dirinya untuk hidup di dalam masyarakat yang majemuk.
Agama Toleran
Ajaran Islam sebenarnya sangat menjunjung tinggi toleransi. Secara doktrinal, toleransi sepenuhnya diharuskan oleh Islam. Sebab Islam adalah agama toleran yang damai, selamat dan menyerahkan diri. Islam adalah agama rahmatan lil ‘aalamin (ajaran yang mengayomi seluruh alam).
Ideologi Islam bersifat terbuka yang selalu menawarkan dialog dan toleransi dalam bentuk saling menghormati serta tidak memaksa. Islam sangat menyadari bahwa keragaman umat manusia dalam beragama adalah kehendak Allah SWT.
Karena itu, dalam Islam toleransi berlaku bagi semua orang, baik sesama umat muslim maupun non-muslim. Yusuf al-Qardhawi (1992) menyebutkan ada empat faktor utama mengapa toleransi selalu mendominasi perilaku umat Islam terhadap nonmuslim, yaitu: pertama, keyakinan terhadap kemuliaan manusia, apapun agamanya, bangsanya dan keturunannya. Kedua, Islam sangat menghargai perbedaan manusia dalam agama dan keyakinan, yang merupakan realitas yang dikehendaki Allah SWT. Dalam ajaran Islam semua orang diberikan kebebasan untuk memilih antara iman dan kufur,
Ketiga, seorang muslim tidak dituntut untuk mengadili kekafiran seseorang atau menghakimi kesesatan ajaran orang lain. Hanya Allah sajalah yang maha kuasa untuk menghakiminya nanti. Keempat, Allah SWT memerintahkan untuk senantiasa berbuat adil dan mengajak kepada budi pekerti mulia, meskipun kepada orang musyrik. Allah juga melarang ummatnya berbuat dzalim meskipun terhadap kafir.
Salah satu bentuk toleransi dalam Islam adalah menghormati keyakinan orang lain. Islam bahkan menyerukan kepada ummat manusia (Yahudi, Kristen) untuk kembali beriman kepada Allah SWT, yang pada awalnya justru tidak ada pertentangan (QS. Yunus: 27).
Peran Pendidikan
Maraknya kasus intoleransi di sekolah tersebut, harus menjadi perhatian bersama bahwa betapa pentingnya pendidikan toleransi di Indonesia. Sebab hal ini dapat menjadi instrumen yang menjembatani perbedaan dalam keragaman. Pendidikan adalah salah satu instrumen sosial kebudayaan yang signifikan untuk menumbuh suburkan ajaran dan sikap toleransi.
Pendidikan sejatinya menjadi wadah sebagai langkah solutif sejak dini untuk mencegah terjadinya krisis toleransi. Pendidikan merupakan akar dari berbagai prestasi dan sebagai tonggak harapan untuk menciptakan manusia-manusia yang berbudi luhur dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan universal.
Pasal 29 UUD 1945 Ayat (2) menjelaskan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Sementara pada Pasal 31 UUD 1945 Ayat (3) yang ditegaskan, Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
Selanjutnya, pada Pasal 4 Ayat 1 UU 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif, dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keamanan nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
Semua aturan perundang-undangan tersebut menegaskan bahwa negara telah menjamin kebebasan menjalankan keyakinan bagi para pemeluknya. Praktek pendidikan pun harus diselenggarakan secara demokratis dan menjunjung tinggi hak asasi manusia serta nilai kemajemukan bangsa. Tidak ada lagi ruang untuk praktek intoleransi.
Karena itu, pendidikan tentang toleransi sangat penting diajarkan sejak dini, di tengah kenyataan bahwa Indonesia merupakan sebuah negara yang terdiri dari beragam latar belakang. Toleransi akan menjadi jembatan hubungan positif antar sesama anak bangsa. Toleransi juga akan mampu menghubungkan ketidaksukaan individu terhadap pihak lain yang berbeda sehingga memunculkan sikap saling memahami, mengerti dan harmoni.
Upaya mewujudkan tujuan pendidilan untuk internalisasi nilai-nilai toleransi adalah keniscayaan. Sehingga pendidikan bisa melahirkan generasi bangsa yang demokratis dan bertanggung jawab. Hal ini sebagaimana tertuang dalam UU 20/2003, pasal 3 menjelaskan bahwa salah satu tujuan pendidikan nasional: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Dalam konteks ini, pendidikan harus diarahkan sebagai advokasi untuk menciptakan masyarakat yang toleran. Pendidikan toleransi perlu dikembangkan untuk mencapai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dalam bingkai bhineka tunggal ika.
Sebagai mana juga ditekankan United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO), bahwa toleransi meliputi sikap saling menghormati secara tulus, penerimaan dan akomodasi, menghormati perbedaan pribadi dan budaya, resolusi konflik yang damai, penerimaan dan penghargaan terhadap keanekaragaman budaya, menghormati kelompok minoritas dan orang asing, memiliki selera humor, sopan/ramah, dan keterbukaan pikiran (Unesco, 1998).
Ada berbagai manfaat yang bisa diraih dengan diterapkannya pendidikan toleransi dalam kehidupan sekolah, masyarakat, bangsa, dan negara diantaranya, yaitu: Manfaat bagi kelayakan diri, manfaat bagi kehidupan bermasyarakat, dan manfaat bagi kehidupan berbangsa dan bernegara (Apriyana, 2012).
Manfaat bagi kelayakan diri meliputi: martabat dan hak asasi manusia dihormati, kebebasan memilih agama dan beribadah dihargai, dan adanya ketenangan batin.
Sedangkan manfaat bagi kehidupan bermasyarakat mencakup: kerukunan hidup beragama tercipta, kerjasama dalam masyarakat terbina, dan hubungan yang selaras, serasi, dan seimbang tercipta. Adapun manfaat bagi kehidupan berbangsa dan bernegara meliputi: tercapainya persatuan dan kesatuan bangsa, adanya penguatan landasan spiritual, moral, dan etnik bagi pembangunan nasional, dan pembangunan dapat berjalan dengan lancar.
Semoga kita bisa mewujudkan pendidikan toleransi di tengah kehidupan masyarakat Indonesia yang sangat heterogen. Sehingga nilai-nilai luhur kemanusiaan universal dan budaya bangsa tetap terus terjaga dalam bingkai bhineka tunggal ika. Demi Indonesia yang cerdas, maju dan berperadaban.
Penulis Dr. H. Ade Mujhiyat, MPd
(Bidang Pendidikan Pengurus Pusat IKADI)
Leave a Reply