Kitab Tanbihul Ghofilin yang berarti “Pengingat Bagi Yang Lupa” ditulis oleh Imam Nasr bin Muhammad As-Samarqandi bernama lengkap Abul Laits Nashr bin Muhammad bin Ibrahim as-Samarqandi al-Hanafi, dikenal dengan Abu Laits, seorang Ulama Tabi‟ut Tabi‟in, hidup pada awal abad ke-4 Hijriah dan Wafat 373 H, yang juga dijuluki Imamul Huda.
Penulisnya terdorong rasa tanggung jawab yang diberikan Allah SWT ilmu pengetahuan tentang: adab, kesopanan, kebahagiaan, hikmah, nasehat, pendirian orang-orang salih dan upaya para Mujtahidin kepada Allah SWT.
Dia juga juga berpesan agar pembaca dan khususnya pada generasi muda agar senantiasa berpikir dan introspeksi diri agar selalu berbuat baik, karena dengan demikian akhlak yang baik akan selalu melekat dalam diri.
Sangat terasa semangat penulisnya dalam berusaha membongkar pengalaman-pengalaman menakjubkan berkaitan dengan kehidupan keberagamaan yang terjadi dalam sejarah manusia dan tak luput dari konsep-konsep ketauhidan, ibadah, mua’amalah, dan syari’at Islam yang diajarkan Nabi Muhammad SAW, para sahabat, tabi’in, dan para ulama salaf yang shaleh.
Pembahasan paling menarik sekaligus relefan dari kitab ini adalah masalah akhlak yang meliputi keseimbangan dalam hubungan vertikal (hablum minallah) selaku hamba Allah, dan dalam hubungan horisontal (hablum minannas) selaku makhluk individu dan makhluk sosial untuk mencapai derajat takwa.
Dari dua model hubungan tersebut, akhirnya dibelah menjadi; akhlak mahmudah (yang dipuji) di antaranya yaitu: akhlak terhadap Allah SWT yaitu taubat, khauf, ikhlas, tawakkal. Akhlak terhadap diri sendiri yaitu wira’i (menjaga harga diri), syukur, haya’(malu), sabar, larangan tertawa terbahak-bahak, larangan berdusta, mengekang emosi, memelihara lisan, keutamaan menimba ilmu. Akhlak terhadap keluarga yaitu silaturrahmi. Akhlak bernegara yaitu amar ma‟ruf nahi munkar. Akhlak terhadap masyarakat yaitu berhati lunak (pemurah), rahmat dan kasih sayang, beramal dengan ilmu.
Adapun akhlak madzmumah (yang dibenci) diantaranya: sombong, ujub (tinggi hati), ghibah (menggunjing), namimah (memfitnah), hasad (menghasut), zalim, rakus dan berkhayal.
Nilai-nilai tersebut sangat terasa relefansinya dengan pendidikan Islam, karena bertujuan melahirkan kemampuan peserta didik untuk berakhlak mulia sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah dalam kehidupan sehari-hari, secara personal maupun kemasyarakatan.
Pendidikan akhlak dalam kitab ini menitiberatkan pada penanaman karakter kepribadian yang membutuhkan proses yang lama sejak usia dini yang pertama diperankan oleh orang tua, selanjutnya ada di sekolah dan masyarakat.
Orang tua juga harus menanamkan akidah kuat pada anaknya, sebagai bekal yang baik untuk menanamkan akhlak terpuji dalam hubunganya secara horisontal, baik terhadap orang tua, guru, masyarakat sampai negara-bangsa.
Para pendidik baik lingkungan formal maupun non formal hendaknya mampu menjadi seorang pendidik yang mempunyai kepribadian dengan akhlak yang baik sehingga mampu menjadi panutan bagi para peserta didiknya. Jika kepribadian baik sudah dimiliki oleh pendidik maka akan tercipta pendidikan yang harmonis antara pendidik dan peserta didik.
Karakter kepribadian dalam kitab ini secara sederhana adalah pengakuan akan kehadiran Yang Kuasa dalam setiap jengkal kehidupan, sehingga bisa melahirkan individu kuat dalam menjalankan fungsi kemanusiaan untuk memberi rahmat sebanyak mungkin bagi semesta raya.
Leave a Reply