Siapakah penyair pertama di dunia ini yang menyebut Sumatra dalam puisinya? Penyebutan nama tempat (locus) dalam puisi dunia, selalu punya makna khusus. Atau, di belakang nama tempat itu, ada kisah besar yang mungkin pernah dialami penyairnya sendiri sebagai pengalaman individual atau peristiwa sejarah yang mengubah jalan hidup manusia dalam peta bangsa-bangsa di dunia. Setidak-tidaknya, penyebutan nama tempat dalam puisi, mesti dicurigai punya makna dan pesan tertentu yang berada di sebaliknya.
Dalam sebuah karyanya, Jatri (1936), misalnya, Rabindranath Tagore menyebut nama Bali dan Jawa. Belakangan diketahui, Tagore memang pernah berkunjung ke sana, menyusul kemudian ke Malaka, Kuala Lumpur, Penang, dan Singapura. Pengalaman itu juga memberi pandangan lain bagi Tagore tentang dunia Timur yang berada di bawah kekuasaan penjajah.
Beberapa sastrawan yang tergabung dalam Barisan Propaganda Jepang (1942—1945), juga mempublikasikan karya-karyanya berupa cerpen, novel dan puisi. Di dalamnya, disebutkan nama-nama tempat di Pulau Jawa, Sumatra, dan daerah lain di Nusantara. Penyebutan nama-nama itu dalam kaitannya dengan kebijaksanaan politik Jepang di wilayah pendudukan.
Subagio Sastrawardojo dalam buku Sastra Hindia Belanda dan Kita (1990) pernah pula menghimpun sejumlah karya para pengarang peranakan Belanda. Dari sana terungkap, bagaimana pandangan orang-orang Belanda atau Indo-Belanda terhadap masyarakat pribumi dan alam Nusantara yang sangat berbeda dengan keadaan masyarakat dan alam di negerinya sendiri, bahkan juga di Eropa. Dengan begitu, nama tempat yang kita jumpai dalam sebuah karya, tidaklah sekadar tempelan belaka.
Puisi-puisi Muhammad Yamin yang awal, misalnya, banyak pula mengangkat keindahan alam Sumatra: Bukit Barisan, Gunung Singgalang, dan lain-lain. Puisi-puisi Yamin menegaskan kecintaannya pada Tanah Tumpah Darah—tanah kelahiran sebagai kampung halaman, yaitu Minangkabau.
Tetapi, pemikiran Yamin tentang Tanah Tumpah Darah sebagai kampung halaman tempat kelahiran kemudian berkembang sejalan dengan pemahamannya tentang wilayah bangsa —father land—mother land, sebagai ibu pertiwi. Dari sana muncul konsep Tanah Air sebagai wilayah yang lebih luas dari Minangkabau dan Sumatra, yaitu Indonesia. Konsep itulah yang menjadi embrio perumusan Sumpah Pemuda: Bertanah Air dan Berbangsa yang satu: Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
***
Karya-karya yang disebutkan tadi, semuanya terbit pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika wilayah Nusantara menjadi bagian dari kekuasaan Belanda yang disebutnya Hindia Belanda. Jauh sebelum itu, kata Sumatra pernah pula muncul dalam sebuah puisi karya penyair Portugis, Luís Vaz de Camões berjudul “Os Lusiadas” (Orang-Orang Portugis). Bagi bangsa Portugis, Camões ditempatkan sebagai Bapak Penyair Portugis. Ia lahir kemungkinan di kota Lisbon, tahun 1524 (atau 1525). Keluarganya, ayah—Simão Vaz de Camões dan ibu—Ana de Sá Macedo berasal dari keluarga bangsawan Portugis pada masa pemerintahan Raja D. Fernando.
Pengetahuan dan intelektualitas Camões diperoleh dari pendidikan tinggi di sebuah universitas di kota Coimbra (1531—1541). Ia mengambil jurusan humaniora. Sebelum tahun 1550, ia tinggal di Lisbon sampai tahun 1553. Setelah itu, Camões memutuskan pergi bertualang mencari pengalaman hidup yang lebih menantang: mencatatkan diri sebagai tentara yang berada di garis depan. Dalam sebuah pertempuran, nyawanya hampir melayang ketika mata kanannya terluka.
Pengalaman itu memberi penyadaran pentingnya mengobarkan semangat perjuangan bangsa Portugis. Maka, meski ia harus kehilangan mata kanannya, ia berhasil merampungkan puisi epiknya “Os Lusíadas” tahun 1556. Penerbitan dan publikasinya sendiri baru dilakukan pada tahun 1572, yakni pada zaman Renaisans, tiga tahun setelah ia kembali dari perjalanan panjang mengarungi lautan di wilayah Timur.
Camões meninggal pada 10 Juni 1580 dengan mewariskan salah satu mahakarya, puisi epik “Os Lusíadas”. Sebagai bentuk penghargaan pada jasa Camões yang puisinya itu dianggap berhasil menanamkan nilai-nilai semangat perjuangan bangsa Portugis, maka hari kematiannya diperingati sebagai hari nasional Portugis. Jadi, hari nasional bangsa Portugis ditetapkan 10 Juni, hari wafatnya penyair Camões yang dalam bahasa Portugis dikatakan: “Dia de Portugal, de Camões e das Comunidades Portuguesas.”
Adakah informasi penting tentang puisi itu dan apa maknanya bagi Indonesia?
“Os Lusíadas” adalah puisi epik yang bercerita tentang heroisme dan karakteristik bangsa Portugis yang menempatkan laut sebagai wilayah atau arena perjuangan. Puisi naratif yang panjang ini disusun dalam 10 kidung (canto) dalam 1.102 bait dan setiap baitnya terdiri dari delapan larik dengan pola persajakan oktaf dekasilabel: a-b-a-b-a-b-c-c. Jadi, total keseluruhan puisi ini berjumlah 8.816 larik.
Dengan begitu, puisi itu juga laksana “potret” bagaimana jiwa berkelana—berlayar bagi bangsa Portugis sebagai salah satu upaya mencapai reputasi dunia. Keseluruhannya, puisi ini terbagi ke dalam beberapa subtema dengan tema utama: ditemukannya jalur laut ke India oleh Vasco da Gama. Digambarkan juga di sana episode-episode lain dari sejarah Portugal dengan mengagungkan orang-orang Portugis. Secara garis besar, puisi panjang itu terbagi atas tema-tema berikut:
Pertama, perjalanan—pelayaran dengan ditemukannya rute laut ke India oleh Vasco da Gama dan para pelaut yang mengikuti perjalanannya. Belakangan, penemuan jalur laut ini membuka jalan bagi Ferdinand Magellan menemukan jalur emas hitam, yaitu jalur rempah yang titik berangkatnya justru dari Ternate—Tidore. Inilah gelombang pertama pelayaran bangsa Eropa memasuki wilayah Nusantara, dengan Belanda (VOC) berada paling belakang.
Kedua, sejarah bangsa Portugis yang di sana-sini terselip mitologi sebagai bentuk legitimasi kebesaran bangsa Portugis. Konon, keberhasilan para pelaut Portugis mengarungi lautan dan menjelajahi pulau-pulau di belahan dunia tidak terlepas dari campur tangan para dewa dalam mitologi Yunani-Romawi.
Ketiga, pandangan penyairnya (Camões) sendiri atas keberanian dan heroisme bangsanya yang menempatkan laut sebagai arena mencapai reputasi dunia. Dikatakan penyair legendaris Portugis generasi pertengahan abad ke-20, Fernando Pessoa (1888-1935), Deus ao mar o perigo e o abismo deu/Mas nele é que espelhou o céu (Tuhan telah menganugerahi kita laut yang sarat bahaya dan teluk-teluk/Tetapi di sanalah terpantul jernihnya langit). Maka, laut bagi bangsa Portugis adalah tantangan, harapan, dan reputasi.
Itulah yang dilakukan Christopher Columbus “sang penemu” benua Amerika; Vasco da Gama, pelaut dan penjelajah Portugis yang dipandang sebagai orang Eropa pertama yang mencapai India melalui jalur laut; dan Ferdinand Magellan yang menegaskan penemuannya, bahwa bumi itu bulat. Di sepanjang narasi puisi panjangnya itu, ditemukan pula episode-episode peperangan, mitologis, historis, simbolik, liris, dan naturalistik. Berikut dikutip tiga bait puisi “Os Lusíadas” yang disertai dengan terjemahannya.
OS LUSIADAS
As armas e os varões assinalados,
Que da Ocidental praia Lusitana,
Por mares nunca de antes navegados,
Passaram ainda além da Taprobana,
Em perigos, e guerras esforçados,
Mais do que prometia a força humana.
Entre gente remota edificaram
Novo Reino, que tanto sublimaram.
E também as memórias gloriosas
Daqueles Reis, que foram dilatando
A Fé, o Império, & as terras viciosas
De África, & de Ásia, andaram devastando,
E aqueles que por obras valerosas
Se vão da lei da Morte libertando.
Cantando espalharei por toda parte,
Se a tanto me ajudar o engenho e arte.
Cessem do sábio Grego e do Troiano,
As navegações grandes que fizeram:
Cale-se de Alexandro, e de Trajano,
A fama das vitórias que tiveram,
Que eu canto o peito ilustre Lusitano,
A quem Neptuno, e Marte obedeceram:
Cesse tudo o que a Musa antiga canta,
Que outro valor mais alto se alevanta.
ORANG-ORANG PORTUGIS
Tentara dengan komandannya yang terkenal,
Dari pantai Portugal dimulainya,
Melalui lautan yang belum dikenal,
Mencapai tempat yang lebih jauh dari Sumatra,
Berani menantang bahaya dan peperangan banal,
Melebihi kekuatan manusia biasa,
Mereka dirikan di tanah nan jauh dan baru
Kerajaan baru tak tertahankan melesat maju.
Dan aku pun merayakan kemasyhuran namanya
Raja Portugis yang membesarkan
Keimanan, kekaisaran, dan tanah subur kaya raya
Afrika dan Asia telah mereka taklukkan,
Dan semuanya untuk kejayaan besar mereka
Ketenaran abadi pantas dimenangkan,
Kan kutuliskan kemuliaannya di seluruh jagat,
Untuk melakukannya berkat bakatku yang hebat.
Tentang Ulysses dan Aeneas kita lupakan
Petualangan mereka yang luar biasa;
Hapuslah dari Alexander dan Trajan
Kenangan kemenangan perang yang perkasa;
Bagi Vasco, Gama yang mulia, puisi ini kusampaikan
Yang menaklukkan laut dan memenangkan medan laga:
Kemuliaan masa lalu tiada lagi berarti,
Sang laksamana menerjang, segala rintangan diatasi
Perhatikan larik empat bait pertama yang menyebut nama Sumatra (Taprobana): Mencapai tempat yang lebih jauh dari Sumatra. Dalam peta 1556, Giacomo Gastaldi menyebut Taprobana sebagai Sumatra. Belakangan, ada pula yang mengaitkan Taprobana sebagai Kalimantan. Jika mempelajari pelayaran yang dilakukan Ferdinand Magellan, Sumatra (dan Malaka) adalah tempat persinggahan dalam upayanya membuka jalur rempah ke Ternate (: Maluku). Dari sanalah Magellan melanjutkan perjalanan mengelilingi dunia. Setelah melewati Samudra Pasifik, armada Magellan sampai di Filipina (16 Maret 1521). Ia terlibat dan tewas dalam pertempuran dengan penduduk pribumi.
Pelayarannya ke Maluku kemudian dilanjutkan Juan Sebastian Elcano. Berdasarkan catatan dalam jurnal Maximillianus Transylvanus (1523), di bawah judul “De Moluccis Insulis,” Anak Buah Kapal (ABK) dalam ekspedisi Ferdinand Magellan, tersisa 18 orang, satu di antaranya, Enrique yang nama Portugisnya: Henricus. Belakangan diketahui, Enrique adalah budak yang kemudian menjadi ABK dan diangkat sebagai ahli bahasa dan penerjemah asal Sumatra yang menemani pelayaran Magellan sejak awal. Ia juga yang mendampingi Elcano ke As Molucas (kepulauan Maluku) sampai kembali ke Spanyol, titik berangkat pelayarannya mengelilingi dunia. Jadi, hampir dapat dipastikan, orang pertama yang berhasil mengelilingi dunia, tidak lain adalah Enrique Maluku!
***
Sesungguhnya, puisi panjang “Os Lusíadas” karya Luís Vaz de Camões tidak hanya menegaskan reputasi bangsa Portugis dalam ekspedisi pelayaran dunia, tetapi juga berisi informasi penting tentang tempat-tempat yang disinggahinya. Dengan demikian, teks puisi itu dapat ditempatkan sebagai pemantik untuk menghubungkan tema-tema yang diangkatnya dengan konteks pelayaran yang dilakukan bangsa Portugis. Dalam hal ini, puisi itu laksana catatan tempat dan peristiwa yang dalam sejarah pelayaran di Nusantara sebagai gelombang pertama kedatangan bangsa Eropa ke Nusantara.
*Penulis: Danny Susanto
(Pengajar FIB-UI dan Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia)
Leave a Reply